02. Tolong ... Gue Mati.

 02. Tolong ... Gue Mati.

Pelan tapi pasti, gue mulai merasa gerah. Rasa ngilu di sekujur badan semakin membuat gue bertambah gerah. Gue mencoba membuka mata perlahan nan pelan, yang ternyata terik sang surya langsung menyengat di pelupuk mata. Gue meringis lirih, berusaha ngumpulin tenaga sebisa gue. Walaupun pelan dan rasanya teramat berat, akhirnya gue bisa beranjak dari tergeletak nya badan gue.

Gue seret pelan badan gue, tenaga yang gue punya berhasil membuat gue duduk bersender persis bertumpu pada pangkal batang pohon yang entah gue nggak tau nama pohonnya apa. Tatapan mata gue nanar melihat keadaan sekitar gue sekarang. Laun gue perhatikan, dimana-mana terdapat banyak tanaman semak belukar. Gue perhatikan arah depan gue, dimana tanaman ilalang yang tingginya setengah badan orang dewasa udah rubuh sebagian seperti di timpa sesuatu. Disitulah letak satria item berada, kondisinya sungguh sangat mengenaskan.

Kepala gue masih terasa pusing, senut-senut yang cukup sering memaksa gue untuk mengurut pelan pelipis gue.

"Aw!" Gue meringis keras, karena pinggang dan punggung gue terasa sakit ketika gue coba menggerakkan badan.

Mau nggak mau, gue semakin bertumpu pada pohon yang lebih lebar sama badan gue ini. Gue sempat celingak-celinguk sebentar, memperhatikan sekitar. 

"Mmmhh ... ini dimana sih?" Gue bertanya bego', yang udah pasti kagak bakal ada yang mau ngejawabnya.

Gue masih mengamati keadaan sekitar, mencoba mengingat-ingat. Mengapa gue bisa sampai disini? Hingga beberapa saat gue mencoba mengingatnya kalo gue sepertinya udah kecelakaan. 

"Iya, gue kecelakaan," gue bergumam sambil melihat perkiraan adanya jalan di atas sana yang udah membuat gue celaka.

Gue coba mengolah TKP dengan sketsa yang ada dalam benak gue, merunut kejadian yang membuat gue celaka. Lama gue amati, seperti tebing tepat di arah bawah persis bulatan sinar matahari, tapi gue nggak mendapati jawaban yang memuaskan dari olah TKP tersebut. Yang ada kepala gue tambah pusing, nggak kuat melihat ke arah sorot matahari. 

"Aneh ... masa' iya nggak ada yang melintas sama sekali?" Gue merasa kalo gue bakal mati sendirian disini.

"Mati!?" Gue tercekat sendiri dengan gumaman gue.

"Apa gue udah mati?" Gue mendadak linglung.

Gue mulai meraba-raba kantong, dompet masih ada. Gue raba kantong depan celana gue, hape Sa*tiitt*ng gue ternyata layarnya udah retak parah, udah gitu sama sekali nggak bisa nyala. Gue raba kantong kanan jaket gue, ada korek gas merah sama rokok yang bungkusnya udah nggak sesempurna namanya. 

"Apa iya gue udah mati?" Gue kembali bergumam, berusaha mencari sebuah kesimpulan.

"Ah nggak mungkin gue mati disini," sambil sekali lagi gue lihat jalan di atas sana, yang seharusnya terdapat pembatas tepi jalan sekaligus penanda kilometer berwarna hitam putih. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak terlihat.


~ Kriuk. ~


"Tuh kan, masa' iya kalo udah mati masih bisa laper?"

Kembali gue amati keadaan sekitar serta keadaan tubuh ini. Hanya ada sobekan kecil di lutut kiri gue, sepatu sneakers hitam putih juga masih terlihat utuh. Kalo kaki sih, udah nggak terlalu nyeri seperti tadi. Cuma senut-senut di kepala masih terasa, gue kembali memijat kepala gue dengan pelan.

"Ah iya ... helm, untung helm gue mahal. Lah? Tapi helm nya mental kemana yak?"

Gue coba untuk bangkit lagi....

"Add ... deuhh ... deuhh..," gue raba pinggang yang terasa nyeri senut-senut dan sedikit perih. 

"Ck, kupret! Sial bener gue dah!" Gue menggerutu kesal dengan keadaan ini. 

"Masa' iya gue udah mati?"

"Harusnya kan, kalo mati disamperin malaikat, tapi ini malah kagak."

"Trus kalo gue nggak mati, kok rasanya mustahil ... gue jatoh dari tebing setinggi itu tapi nggak mati."

"Tapi kalo gue nggak mati, gue ada dimana?"

"Masa' iya gue terdampar di alam barzah?"

"Ck! Aaaaa!"

"Mana laper sama haus banget!"

"Ntar dulu!"

Gue langsung berhenti dari gumaman diri sendiri yang jelas kagak bakal dapat jawaban atas semua keadaan ini. 


~ Ceklek  cesshh... ~ 


~ Fuuuhh.... ~ 


Asap dari rokok gue udah membumbung melintasi kepala gue.

"Tuh kan ... masa' iya kalo gue udah mati bisa ngerokok?" Sekali lagi gue bergumam nggak penting.

"Sebenernya gue ini ada dimana sih!?"

"Masa iya beneran nggak ada yang mau nol ... long ... in, eh?"

"TOLONG! ... TOLONG! ... TOLONG!" Gue reflek berteriak sekeceng-kencengnya. 

Gue berharap bener ada yang bisa nolongin gue saat ini.

"TOLONG ... TOLONG! ... TOOOO ... LOOOONG!"

Gue nggak perduli lagi sama sakit yang mulai merambat disekujur tubuh. 

"TOOO ... LOOOONG! ... TOOLL ... LLLOOOONG!"

Gue udah berdiri sambil berteriak di bawah pohon dengan kedua tangan yang gue posisikan kayak toa masjid di samping mulut. Meskipun terselip rokok mild disela-sela jari telunjuk dan jari tengah, gue masih bersemangat untuk berteriak kayak gitu. Hingga kemudian samar-samar terdengar.... 

"Emh..., emmmhhh...."

Jangan ngeres dulu yak, emang terdengar desahan yang entah bersumber dari bagian semak belukar yang gue nggak tau dimana? Laun-laun desahan tersebut masih terdengar setelah gue berhenti berteriak untuk sejenak. 

Seketika gue sadar, bahwasanya gue malam itu nggak kecalakaan sendirian.

"WOI! ... SIAPA DISITU?!" Gue berteriak kencang menanggapi desahan itu.

"Mmmh ... too ... loong..," sebuah jawaban yang terdengar lirih.

Gue terpincang-pincang mengabaikan rasa sakit dibadan guna mencari sumber suara tersebut. 

"LO DIMANA?! ... WOI!"

"Tooo ... long ... kakii ... ka ... kii ... kuuhh..," jawaban terbata-bata dan lirih terdengar dari arah depan gue berada.

Gue setengah berlari ke arah sumber suara yang berhasil gue tangkap. Pokoknya belukar dan ilalang gue terobos. Cukup sekitar Tiga puluh langkah dari keberadaan satria item yang sudah tercabik mengenaskan, terlihat lah seorang perempuan mengenakan jaket hoodie berwarna abu-abu, bercelana jeans, mengenakan jilbab berwarna biru gelap. Sekitar Sepuluh langkah dari posisi dia terbaring, terdapat tas punggung berwarna hitam. 

"Hei! ... Lo nggak apa-apa?" Gue setengah berteriak waktu melihat dia seperti meringis kesakitan sambil memegang betis kaki kirinya.

"Tolong ... tolong ... in ... kaki ... ku ... Mas," ucapnya masih terbata-bata dan masih terlihat meringis kesakitan.

"Iya, bentar ya ... pasti gue tolongin lo," setengah pincang setengah berlari gue menghampirinya.

Sempet juga gue lihat motor maticnya yang nggak jauh beda ringseknya kayak satria item, terletak nggak begitu jauh dari tempat dia berada. 

Ketika gue sudah menghampirnya, gue langsung mengajaknya untuk berdiri.

"Aauuuhh ... nggak Mas, nggak ... aduhh ... adduuh..," dia semakin meringis keras sambil terus memegang betisnya, kedua matanya juga terpejam mengisyaratkan kalo dia udah menahan rasa sakit yang teramat sangat. 

Aslinya, gue juga masih ngerasa ngilu di seluruh badan, tapi tekad gue memaksa gue untuk menahannya. Gimana pun juga, gue cowok, gue harus mampu menahannya, sekaligus....

Tetap jaga image sih.

"Nggak kuat, nggak kuat aku Mas, nggak kuat ... betis ku sakit banget," ucapnya kali ini terdengar sedikit lancar meskipun lirih. 

Dia juga sudah melihat gue dengan tatapan nanar. Sekilas, sepertinya keadaan yang menimpa dirinya nggak begitu beda sama gue. Maksud gue, kami berdua sama sekali tidak mengalami pendarahan hebat, hanya seperti mengalami sakit di dalam tubuh. Gue juga udah mendapati helmnya yang udah berantakan tapi masih berbentuk. 

"Aw," Gue baru sadar kalo api rokok gue udah habis tanpa banyak gue hisap, sudah menghangat dan menyengat sela-sela jari gue, terpaksa gue buang dah tuh.

"Shhfft ... kenapa, Mas?" Tanya nya sambil ngeliat gue dengan tatapan menyelidik.

"Nggak apa-apa, cuma disengat rokok aja. Gimana? Gue bisa tolongin apa?" Betapa bego' nya pertanyaan itu meluncur.

"Shhfft..," jawabannya adalah dia masih meringis menahan sakit di kakinya.

Gue? Gue masih bengong ngeliatin dia, tapakur, nggak bertindak sama sekali.

"Minta tolong Mas, tolong ambilin tas ku," pintanya sambil tetap melihat kearah gue dengan tatapan nanar.

Tapi gue malah nggak menuruti permintaannya tersebut. Gue malah....

"Mas ... Mas! kamu mau ngapain?!" Dia melotot atas aksi gue yang entah dapat ilham dari mana, gue malah bertindak tanpa meminta persetujuannya.

Yak! Gue malah membopongnya layaknya superhero kesiangan, padahal udah jelas badan gue tambah cekat-cekot nggak karuan. Gue yakin, muka gue udah merah membara menahan rasa sakit diseluruh tubuh.  

Dengan masih membopong punggung dan pahanya, gue arahin sebentar dia ke arah tas nya berada. Sempat gue lirik sebentar tuh, komuknya macam mau emosi tapi sungkan, malah seperti terselip rasa malu juga. 

Dia pun semacam langsung konek sama yang gue inginkan, dengan sigap dia mengambil tasnya dan langsung menutup buah dadanya pake tasnya itu. Gue nggak munafik lho ya, kalo gue tertarik melihat nya. Tapi gue juga masih tau diri lah, selain itu rasa sakit ini semakin memecut gue buat cepet-cepet ngelarin aksi konyol ini. 

Gue bopong nih cewek dengan berjalan pincang dan terseok-seok, menuju tempat gue berada sebelumnya, dibawah pohon yang cukup rindang. 

"Hegh ... heft!" Gue taroh dia pelan-pelan buat nyender di posisi gue tadi.

Setelah dia udah terlihat nyaman dengan posisi duduknya, gue cabut tangan gue dari menopang tubuhnya. Badannya emang nggak terlalu berat, tapi tetap aja membuat gue terhuyung-huyung.... 

Gue udah nggak tahan....

"Mas?!" dia kaget ngeliat gue yang udah oleng.


~ Bugh! ~ 


Gue udah rebahan terlentang dengan nafas tersengal-sengal, tepat disebelahnya berada.

"Nggak ... hosh ... apa ... hosh ... apa..," gue masih tersengal-sengal memberikan tanggapan.

"Makasih, Mas."

"Iya ... sama ... sama ... hosh...."

Nggak lama kemudian, yang tercipta adalah keheningan diantara kita berdua. Gue masih menyelaraskan nafas dan dia sepertinya menahan sakit nya. Sempat gue lirik bentar, abis itu gue kembali mengatur nafas yang udah bercampur dengan rasa haus, lapar, capek, ngilu.... 

Pokoknya komplit sudah, berkumpul jadi Satu untuk menyiksa gue.

Tak lama berselang dengan masih di bawah naungan keheningan, gue melihat nya udah  merogoh tas yang dipegangnya. Ternyata dia udah mengarahkan botol minuman bening ke arah gue yang udah nggak begitu tersengal-sengal. Botol minuman bertuliskan Tu*tiiittt*re dengan gaya huruf timbul, masih tersisa setengah botol. Tanpa babibu, langsung gue sambar nggak santun dengan tangan kiri.

"Diminum aja, Mas," ucapnya sopan dengan menyelipkan senyuman simpul buat gue.

Wuooo....

Nggak pake di pikir Dua kali, langsung gue buka tutup botolnya dan berusaha untuk duduk untuk menenggaknya. 


~ Gluguk gluguk ~


“Cpp ... aahhhh ....”  

Dia tersenyum lebih lebar karena melihat tingkah gue yang udah ngabisin minumannya tanpa jeda. Setelah entong tak bersisa, barulah gue sadar....

"Eh maaf, maaf,...gue udah ngabisin minum punya lo," Gue langsung merasa bersalah.

"Nggak apa-apa, abisin aja, Mas. Kamu lebih butuh kok," ucapnya dengan nada keibuan plus pake senyum yang merekah. 

Malah gue yang ngerasa jadi nggak enak karena tingkah absurd gue barusan. Setelah memberikan botol kosong ke dia lagi, gue kembali merebahkan badan di sebelahnya. 

"Yah ... hapenya mati," ucap nya tiba-tiba yang udah berganti memegang handphone persegi panjang yang layarnya udah retak juga.

"Sama ... hape gue juga gitu."

"Eh iya ... kayaknya gue perlu minta maaf lagi deh, kayaknya gue deh yang jadi penyebab kecelakaan nya," ucap gue sambil melihat ke arahnya lagi.

Tapi jawaban yang gue dapat adalah matanya udah setengah melotot seperti menahan marah buat gue.


~ Glek. ~ 


Gue menelan ludah gue sendiri....

Sial!

Gue mengumpat dalam hati atas kebodohan yang gue ciptakan sendiri. 





Komentar