03. Munculnya Penyelamat
"Maaf, gue terburu-buru. Please … maafin gue yah," gue udah nggak berani melihat wajahnya.
Bukan nggak berani sih, lebih tepatnya sungkan gitulah ya. Permintaan maaf gue belum dijawab, akhirnya gue menoleh juga ke arahnya. Dia menghela nafas sambil membenarkan jilbabnya.
"Nggak apa-apa, Mas. Yang penting kita sama-sama selamat," ucapnya kemudian, nggak lama abis itu dia noleh lagi ke arah gue.
Akhirnya, gue mencoba bangkit dan berhasil duduk setelah menyeret pantat ini buat diselaraskan dengan keberadaannya.
"Emang lo yakin kalo kita selamat?" Pertanyaan gue meluncur ringan setelah duduk bersebelahan dengannya dibawah pohon rindang ini.
"Maksudnya?" Dia menoleh ke arah samping kanannya, tepat di sebelah bahu kiri gue.
Entahlah ....
Rasanya gue mulai sadar, nih anak bening juga yak?
"Setidaknya kita selamat dari kecelakaan itu, ya kan?" Ucapnya lagi.
Yang gue sadari, dari raut wajahnya mulai tersirat kekhawatiran.
"Iya sih ... kita memang selamat, tapi nggak ada jaminannya kan, kalo kita bisa bertahan disini," gue ngomong gitu sekaligus melihat ke arah tebing, yang seharusnya sedari tadi ada yang lalu lalang dari arah sana atau setidaknya terlihat tugu kecil hitam putih sebagai batas penanda jalan dari bawah sini.
"Aneh kan?" Gue sempat melirik ke arah dia sejenak, yang ternyata juga sudah melihat ke arah tebing yang gue lihat tadi.
"Kok nggak ada Satu pun kendaraan yang lewat ya?"
"Nah itu dia ... gue sejak bangun sadar tadi, ngerasa aneh aja. Harusnya kan dari sini bisa kelihatan jalan raya, ya kan?"
"Iya ya?" Dia udah mulai kelihatan lebih khawatir dari yang sebelumnya.
~ Kriuuuk! ~
"Maaf," gue rada tengsin Coi, semalam cuma makan mi rebus doank, sumpelannya cuma kacang dan rokok. Begitulah akibatnya.
Dia menanggapinya dengan menyunggingkan senyuman yang sedikit dipaksakan.
"Terus sekarang kita harus gimana, Mas?" Tampaknya, kekhawatiran di wajahnya terus bertambah.
"Makanya tadi gue teriak."
"Ya udah, teriak lagi aja, Mas."
"Ntar deh ... gue beneran laper, seengaknya gue mau ngumpulin tenaga dulu."
Namun, respon yang gue dapati kalo dia terlihat tambah cemas. Ujung jilbab yang berada di depan perutnya, sekarang udah diplintir-plintir, diremas-remas oleh kedua tangannya. Ya, gue jadi nggak enak hati donk.
"TOLONG! ... TOLONG! ..," gue masih dengan posisi duduk tapi sambil berteriak kayak gitu.
"TOLONG! ... TOOOOLONG!" Dia udah ketularan kayak gue.
"TOLONG! ... TOOO ... LOOOONG!"
Kali ini suara kita berdua sudah saling bersahutan, kita pun mendadak kompak berteriak di bawah pohon ini. Sesekali kita berdua saling beradu pandangan, bergantian untuk berteriak.
"Capek ... haus," ucapnya tiba-tiba.
Gue jadi mendadak merasa bersalah lagi dah.
"Maaf ya, seharusnya gue tadi nggak ngabisin minuman punya lo."
Dia hanya menjawab dengan sebuah senyuman simpul.
"TOLONG! ... TOOO ... LOOOONG!" Gue masih bersemangat untuk berteriak lagi, sedangkan dia sudah berhenti melakukannya.
"TOOOO ... LOOOONG! ... TOOO ... LLOOOOONG!"
~ Puk puk puk! ~
Bahu gue tiba-tiba ditepuk sama nih cewek.
"Ssstt! ... Coba dengar deh, Mas," ucapnya menatap gue sambil menaruh telunjuknya di depan bibir.
~ Srek.... ~
Emang sih, samar-samar gue mendengar seperti suara ilalang yang ditindih paksa oleh derap langkah. Gue masih saling liat-liatan sama nih cewek.
~ Srek.... ~
~ Sreeekk ... Srek!~
Kali ini semakin terdengar jelas, kalau ada yang mencoba untuk menghampiri keberadaan kami. Jujur sih, gue sempat merasakan semacam ketakutan dengan derap langkah tersebut. Yang semakin kesini, semakin terdengar persis berada di belakang kami, di belakang pohon ini.
Entah dapat Ilham dari mana, gue udah saling liat-liatan lagi sama nih cewek. Kemudian, tanpa di komando lagi, kami berdua serempak kompak untuk melihat ke arah belakang pohon ini.
~ Srek.... ~
~ Srek srek ... srek! ~
Terlihat jelas kalau ada beberapa ilalang yang berterbangan setelah dipangkas. Beberapa detik kemudian, terlihat jelas besi tipis nan pipih melengkung yang berwarna hitam, telah merobek ilalang yang kemudian jadi berterbangan.
~ Deg! ~
Muncullah seseorang yang kami yakini berdua, tidak seperti yang kami harapkan. Mungkin bagi kalian akan juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kami harapkan. Benar-benar sesosok yang mencengangkan untuk dinalar sesaat.
Ialah seseorang nenek tua yang berpakaian kebaya lusuh. Saking lusuhnya, gue sampe nggak bisa mendeskripsikan warnanya. Entah itu hitam atau abu-abu kecoklatan, mbuh nggak ngerti. Pokoknya lusuh gitu aja. Kalo bawahannya, gue pastikan itu kain jarik berwarna coklat tua. Rambutnya bercampur hitam dan uban, meskipun dominan ubannya sih. Itupun rambutnya disanggul, karena terlihat jelas ujung sisirnya dari gulungan sanggulnya tersebut.
Yang membuat kami tercekat adalah tangan kanannya memegang sebilah arit, yang terlihat berkilau di tepi lekukannya, terlihat cukup tajam di mata gue. Sedangkan tangan kirinya, tengah memegang sebatang ranting kayu yang cukup lurus. Jelas akan digunakan sebagai tongkat untuk membantunya berdiri serta berjalan.
Si Mbah Ranting Arit, sementara kita panggil kayak gitu aja yak. Gue lihat sekilas, cewek disamping gue ini udah terlihat gusar dan takut ketika melihat sesosok Si Mbah Ranting Arit ini. Gue? Apalagi dah. Secara yak, tampilannya itu cukup angker menurut gue. Wajahnya sedikit menyeramkan apalagi kantung matanya terlihat menghitam walaupun samar-samar. Mulut dan giginya merah seperti sedang mengunyah sirih.
Cukup lama kami berdua ngeliatin Si Mbah ini, padahal udah jelas kalo Si Mbah ini juga ngeliatin kami sambil tetap memegang arit dan rantingnya.
"Mas," sapa cewek ini sambil menyenggol sikut gue.
Terlihat masih ada ketakutan di wajahnya. Gue menoleh sejenak tapi nggak merespon, kemudian melihat lagi ke arah Si Mbah itu.
Lantas, beberapa detik kemudian, Si Mbah itu telah menyeringai ke arah gue. Dalam batin gue, rasanya beliau ini mengisyaratkan kalau dirinya bukanlah ancaman, terlebih lagi Si Mbah ini sudah memindahkan artinya ke tangan kiri, bersanding memegang tongkat beserta arit. Kemudian tangan kanannya tersebut sudah diayunkan naik-turun ke arah kami. Istilah Jawa nya itu 'ngawe-awe' ke arah kami berdua.
Dengan isyarat dari Si Mbah tersebut, kami berdua sudah saling liat-liatan lagi. Ada semacam kontak batin lah ya, istilah kerennya itu 'chemistry' antara gue sama nih cewek sudah terbangun dengan begitu cepat nya. Seolah-olah kita berdua sedang melakukan 'telepati', padahal gue cuma bingung mau ngomong apaan.
Ketika gue melihat lagi ke arah Si Mbah Ranting Arit, ternyata beliau sudah berbalik badan. Gue liat-liatan lagi dah tuh, sama nih cewek.
"Gimana?" Tanya gue ke dia yang masih keliatan cemas.
"Aku ... aku, takut Mas."
"Sama. Tapi sapa tau, kita di sana dapat pertolongan, syukur-syukur di jamu sama dia."
Gue noleh lagi ke arah Si Mbah Ranting Arit itu, beliau sudah berhenti sejenak untuk memutar badannya lagi, meskipun terlihat agak kesusahan untuk melakukannya. Kali ini beliau tersenyum dan 'ngawe-awe' lagi ke arah kami. Seolah-olah beliau meminta kami untuk mengikuti jejak langkahnya.
"Trus motor kita gimana?" Tanya cewek ini lagi.
"Ntar kalo udah mendingan, kita balik lagi kesini."
"Kamu yakin?"
"Yakin nggak yakin sih, setidaknya kita bisa ngapalin jalan buat kesini lagi. Lagian, kayaknya rumah Si Mbah itu nggak jauh dari sini deh. Masa' iya, Mbah-mbah tua kayak gitu kelayapan jauh-jauh, ye nggak?"
"Iya juga sih."
"Ya udah ... ayok. Keburu Mbah nya pergi jauh dari sini."
"Tapi ...," nih cewek menatap nanar ke arah gue.
"Iyaaa ... tapi gue gendong belakang ya. Soalnya, kalo gue bopong lo, gue nggak bakalan kuat," gue langsung paham arti dari tatapan nanar nya tersebut.
Dia juga langsung jawab pake senyum.
Hmmm ....
Senyumnya manis sih.
"Hepfth ... pegangan yang kuat ya," akhirnya, gue gendong juga nih cewek. Kagak usah lo tanya kabar otong gue Coi!
°
°°
°°°
°°
°
Sungguh diluar dugaan, gue membuntuti Si Mbah Ranting Arit ini yang berjalan tertatih-tatih....
Super lamaaaaa!
Badan gue pegel-pegel kagak ketulungan dah!
Guondok jengkel dalam hati gue udah numpuk kayak keranjang loundry! Lama beud Coi!
Udah gitu, jalan setapak nya....
Berkelok-kelok macam jalan idup ente. Pffttt!
Gue sendiri mengakui, kagak bakal hapal jalan buat jemput Satria item.
Wuassudahlah....
Akhirnya kami beneran nyampe di sebuah gubuk, dimana terdapat asap mengepul di sebelah gubuk tersebut. Namun, lagi-lagi rumah gubuk tersebut di luar ekspektasi gue. Gue kira bakal tiba di suatu kampung atau setidaknya Si Mbah Ranting Arit ini punya tetangga. Ya biar bisa minta tolonglah, kabarin siapa gitu kek, hansip kek, Isipol kek, atau siapa ajalah yang bisa bantuin kami buat ngabarin kalo kami kecelakaan. Tapi ya itu tadi, terkadang harapan tak seindah realita Coi.
Di perjalanan menuju gubug ini pun, tidak sesuai dengan harapan gue. Gue benar-benar di kacangin sama Si Mbah ini. Lebih tepatnya, sapaan, pertanyaan ataupun jokes yang gue punya sama sekali nggak digubris sama beliau.
Sekarang....
Gue udah berada di rumah gubuk ini. Adalah sebuah gubuk yang mempunyai bale-bale yang terbuat dari susunan potongan bambu di bagian terasnya. Di depan bale-bale tersebut adalah halaman dengan tanah hitam biasa, tidak terlalu berdebu dan sepertinya baru aja disapu. Terdapat susunan bunga mawar yang beraneka warna di bagian tepi halaman itu, mungkin sebagai pemanis sekaligus pagar antara tanah dan semak-semak di sebelahnya.
Si Mbah tadi udah duluan masuk kedalam rumah yang beratapkan daun rumbia lapuk, berdindingkan susunan papan-papan tua yang juga sudah terlihat rapuh dan berlapuk.
Gue juga udah mendudukkan nih cewek di atas bale-bale bambu tersebut. Kemudian gue merebahkan badan di sampingnya.
"Capek ya?" Tanya nih cewek dengan nada lembut.
"Aush gue."
"Sabar ... siapa tau Si Mbah nya lagi ngambilin minum."
"Iya. Eh, kayaknya ada yang janggal deh."
"Apaan?" Tanyanya masih dengan nada lembut.
"Gue Gilang."
"...."
"Nama lo siapa?"
Senyumnya yang tipis kemudian merekah....
"Melani."
Gue menatap wajah teduhnya ....
"Panggil aja Imel."

Komentar
Posting Komentar