05. Pelarian
"HUUUAAAA!"
Gue udah berteriak kencang, kaki gemetaran dan pasti muka gue udah pucat pasi. Gue yakin teriakan gue ini adalah salah Satu teriakan kaget yang terkencang dalam hidup gue. Gue yakin juga, kalo teriakan gue ini akan menular secepat kilat. Dan benar saja, ketika Imel membalikkan badannya...
"HUUUUAAAAAAA!"
Teriakannya lebih nyaring melengking daripada gue. Imel pun reflek beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya yang udah memegang tas punggungnya langsung dilempar ke arah badan gue. Imel sudah secepat kilat berada di balik punggung gue.
"Ghegheghe...."
Sosok manusia paling jahanam yang pernah gue lihat secara live dengan mata gue sendiri. Mbah kanibal ini terkekeh-kekeh melihat keterkejutan kami, padahal sambil mengunyah potongan tangan yang persis gue angkat tadi.
"Ghegheghe ... gheemmm!"
Sehabis terkekeh sebentar, matanya langsung melotot ke arah kami berdua. Tangan kanannya yang memegang pergelangan tangan dari potongan tangan yang terlihat jelas sudah tercabik-cabik, diacungkan ke arah kami berdua.
"Ghhauu?! ... ghegheghe ..."
Bodohnya, kami berdua adalah masih terpaku melihat ke arah Si Mbah Ranting Arit ini. Gue akuin kalo lutut gue rasanya makin lemas, belum bisa beranjak untuk lari. Gue pun berusaha untuk menunduk kebawah untuk mengambil tas Imel tadi. Tapi pandangan gue masih sama sekali belum teralihkan pada Mbah Jahanam yang tidak kami sadari, sejak kapan berada pada balik punggung Imel berada tadi?
"Gheemmm!"
Matanya kian menyorot tajam ke arah kami berdua. Gue merasakan cengkraman tangan Imel kian erat pada lengan kiri gue. Akhirnya, tas punggung Imel sudah berhasil gue raih, sepertinya gue udah nggak tahan lagi....
"Mmmaa ... kaa ... ssiih ... Mbah."
Itulah kalimat terakhir yang gue ucapkan dengan terbata-bata. Kemudian tanpa menunggu iklan komersil....
~ Wuuuuut! ~
~ Wuuuussh... ~
~ Drap drap drap.... ~
Gue tarik erat tangan Imel. Gue sempat ngeliat muka Imel sudah sama pucat nya kayak gue. Kami berdua langsung mengambil langkah seribu.
"Ghegheghe...."
Sejenak, gue sempa melihat ke arah belakang. Si Mbah Jahanam itu masih terkekeh-kekeh dengan posisi duduk diatas bale-bale bambu sambil tetap mengunyah potongan tangan tersebut layaknya kudapan makan siang.
°
°°
°°°
°°
°
Gue nggak bisa menghitung berapa lama kami berlari menerobos ilalang. Yang gue sadari, kalau gue saat itu masih menggenggam tangan Imel sambil berlari dan mencari jalan. Sempat beberapa kali gue lihat wajah Imel masih mengsiyaratkan ketakutan yang teramat sangat.
Mungkin bagi kalian yang membaca sampai bagian ini, akan tersirat beberapa pertanyaan. Mengapa kami sanggup untuk berlari? Apakah Mbah Jahanam itu sakti hingga membuat kami berdua bisa berlari kencang dengan pijatannya? Atau apakah dia sengaja membiarkan kami berlari layaknya hewan yang akan disantapnya? Sama, itu juga yang ada dibenak gue waktu menerobos rimbunnya ilalang.
Kami berdua terus berlari entah kemana, yang penting bagi gue saat itu adalah segera meninggalkan gubug terkutuk tersebut.
Hingga....
"Hosh ... hosh ... bentar, Mel," gue udah pada posisi ruku' sambil memegang tas punggung Imel, sedangkan tangannya udah gue lepaskan.
"Hosh ... hosh ... kenapa ... berhenti ... Lang?" Tanya Imel masih berdiri sambil mengatur nafasnya.
"Gue ... masih ... hosh ... bingung ... hosh."
Sekarang kami berdua sudah berada entah dimana, disekitar kami hanya ada pohon-pohon kering tapi masih banyak belukar dimana-mana. Ilalang memang sudah tidak kami dapati lagi, namun di bawah pohon-pohon tersebut banyak daun-daun kering yang gugur. Tepat berada pada selah dua pohon, disitulah kami berhenti berlari. Gue pikir sudah cukup jauh dari keberadaan gubuk laknat itu.
Setelah nafas ini sudah kembali teratur....
"Kaki lo udah mendingan, Mel?" Tanya gue heran sambil mengatur ritme pernafasan gue pelan-pelan.
"Hah?! ... iya yah ... kok sekarang udah nggak sakit ya, Lang?" Imel pun sama terkejutnya dengan gue.
"Lo tadi beneran nggak nyadar kalo dia ada dibelakang lo?"
"Beneran aku nggak tau, Lang," ucap Imel sembari benerin jilbabnya yang sempat awut-awutan.
"Nah itu dia yang bikin gue bingung, Mel. Sebenarnya maunya Si Mbah itu apa ya? Kalo dia bantuin kita ... kok dia kayak gitu ya?"
"Aku juga nggak nyangka, Lang. Tapi ... iya ya, kenapa dia bantuin kita ya?" Imel udah ketularan bingungnya gue.
"Ya udah, Mel. Yang penting, gue tadi udah ngucapin terima kasih."
"Maaf ya, Mel. Gue tadi bukan maksudnya nggak sopan, tapi tadi gue udah ngeh duluan kalo ada yang nggak beres di tempat itu." Gue udah melangkahkan kaki, berjalan pelan.
"Nggak apa-apa, Lang. Aku juga nggak tau, kalau ternyata kayak gitu kejadiannya," Imel pun sudah mengikuti jejak langkah gue dari samping kiri gue.
"Sebenarnya, kita ada dimana ya, Lang?" Tanya Imel lagi dengan raut wajah ketakutan.
"Gue juga nggak tau, Mel. Untuk sekarang, kita harus pergi lebih jauh dari situ."
~ Pluk. ~
Lengan kiri gue langsung disamber Imel dengan tiba-tiba.
"Lang, aku takut," ucap Imel dengan raut wajah yang memang benar seperti yang dia ucapkan.
"Sama Mel, yaudah ayo ... kita sama-sama cari jalan keluar dari sini," ucap gue sambil memindahkan tangannya ke tangan kiri gue, menggenggam erat tangannya tersebut.
"Lang."
"Iya Mel?"
"Aku haus," ucap Imel lirih.
"Sama, Mel. Gue malahan udah dari tadi," jawab gue dengan tatapan lurus kedepan.
Untuk beberapa langkah kemudian, kami sama-sama terdiam sambil melihat keadaan di sekitar kami. Keadaan yang lama-lama makin mirip banget sama hutan belukar yang ada di Discovery Chanel. Hanya saja sedari tadi gue tidak mendengar sedikitpun suara binatang, hanya sunyi.
"Lang."
"Hmm?"
"Kira-kira kita masih jauh nggak yah?"
"Apanya?"
"Tempat yang aman ... aku haus, Lang."
"Sabar, Mel. Moga aja kita ketemu apa yang kita harapin."
"Emang apa, Lang?"
"Sungai, Mel. Katanya lo haus."
"Emangnya air sungai aman buat diminum? Entar kalo muntaber gimana?"
"Muntaber mah belakangan, yang penting hausnya ilang dulu."
"Iya deh. Tapi apa kamu yakin kita bisa ketemu sungai?"
"Moga-moga aja, biasanya hutan ada mata airnya."
"He'emh ... semoga aja gitu deh."
"Mel," gue sedikit mengendorkan genggaman tangan gue.
"Iya?"
"Nggak apa-apa nih, kita gandengan tangan kayak gini, kita bukan muhrim lho," tanya gue sambil noleh ke Imel.
"Nggak apa-apa dulu deh, kan karena keadaan," balas Imel dengan senyum manisnya.
"Iya sih."
"Lang."
"Hmm?"
"Lang ... Gi ... lang," tangan Imel tiba-tiba menggengam lebih erat tangan gue.
"Apa, Mel?" Gue lihat Imel udah pucat lagi
"Apa?" Tanya gue setengah berbisik.
"Itt ... tuh ... itu," Imel pun terbata-bata sambil berbisik, dia sudah menggerak-gerakan kedua bola matanya ke arah kanan. Gue pun mengikuti arah gerakan matanya tersebut....
EBUJUG!
Gimana ceritanya coba?!
"Ghegheghe...."
Simbah jahanam udah nangkring diatas salah Satu pucuk pohon. Dia masih mengunyah potongan tangan yang terlihat beberapa jarinya sudah terlihat tulangnya. Gue bener-bener nggak habis pikir, gimana caranya nih nini-nini nyangkut di pucuk pohon tanpa daun kek gitu sih?
~ Wuuussshhh.... ~
Tanpa aba-aba, gue yang udah memangul tas punggung Imel, langsung ngibrit sambil pegang tangan Imel erat-erat. Imel pun sudah Satu komando. Lagi-lagi kami sudah berlari kencang ke arah depan, yang semakin kesini semakin rimbun belukar yang entah apa pula namanya. Yang jelas, acapkali kulit gue bersentuhan dengan duri ataupun ranting kering dari belukar tersebut.
°
°°
°°°
°°
°
Gue rasa kalo berlari tanpa tujuan itu bakal mengeluarkan tenaga ekstra dan tentu hasilnya pun bakal lebih ekstra. Meminjam istilah the power of kepepet, gue yakini kebenarannya, kalo udah kepepet van kebelet, tenaga kita bakal berlipat-lipat dari yang sebelumnya. Tentu efeknya, kontrol mawas diri bisa berkurang...
~ Bugh! ~
Imel terjatuh, secara reflek gengaman tangannya pun terlepas. Gue yakin kalo dia tersandung oleh sesuatu. Imel sudah terjerembab, tapi segera bangkit lagi.
"Lo ... hosh ... nggak ... apa-apa ... hosh ... Mel?" Sebuah pertanyaan klasik meluncur dari mulut gue.
"Hosh ... hosh ... kayaknya ... hosh ... kita ... udah ... hosh ... jauh ... Lang."
"Kayaknya ... hosh ... hosh ... sih ... hosh... iya," ucap gue sambil membantu Imel berdiri lebih sempurna.
Gue pun melihat sekeliling lagi. Kali ini tidak begitu rimba dari tempat terakhir kali kami berada. Hanya saja, pohon-pohon yang tinggi menjulang, kali ini terlihat lebih mencekam sekaligus lebih rindang dan sejuk.
Beberapa pohon terlihat lebih besar dan lebar di timbuhi belukar di sekelilingnya. Kami berdua berhenti sejenak di depan salah Satu pohon yang cukup besar tersebut. Gue yakin kalo Imel terjatuh akibat akar salah Satu pohon besar tersebut.
"Ayo, Mel," gue pun balik lagi menggenggam erat tangan Melani dan dijawabnya dengan anggukan cepat.
Gue pun setengah berlari lagi, mengurangi tempo agar Imel tidak mudah tersandung lagi. Dalam benak gue, teramat sangat, gue nggak mau berjumpa lagi sama Si Mbah Jahanam nan terkutuk itu. Walaupun gue behutang budi juga sih.
Tapi kan tetep aja, gue yakin seyakin-yakinnya, kalo Si Mbah kampret itu punya maksud terselubung dibalik misi memulihkan kondisi fisik kami berdua.
Dalam diam kami terus melangkah. Entah dimana dan mau kemana kami melangkah? Yang jelas, kami harus segera meninggalkan tempat ini.
°
°°
°°°
°°
°
Apakah ini sebuah takdir? Kami berdua akhirnya mendengar suara gemuruh meskipun samar-samar. Ya, kami akhirnya memang bisa keluar dari hutan tersebut, sekarang kembali berganti pada semak belukar rumput liar sebatas dengkul.
"Mel."
"Lang."
Ucap kami bersamaan setelah menajamkan indra pendengaran kami. Kami pun kompak untuk saling menoleh.
"Lo denger, Mel?"
Imel mengangguk, "kayaknya itu suara air sungai deh, Lang."
Raut wajah Imel sudah ceria, terselip harapan untuk menghilangkan dahaga dengan segera.
"Ayo kita cari sungai nya, Lang."
Gue mengangguk sambil tersenyum, Imel malah mengangguk lebih cepat dan juga mengembangkan senyum manis nya. Lagi-lagi, tangan kami berdua seolah-olah punya magnet nya, kami bergandengan tangan lagi setelah sempat terlepas ketika keluar dari hutan tadi. Namun kali ini sedikit berbeda. Ya, kali ini Imel lah yang menjadi pemandu jalan kami.
Naluri dan insting Melani nggak salah. Kami berdua benar-benar telah menemukan aliran sungai yang cukup deras, terselip bebatuan yang besar di sana, malah ada yang besarnya sebesar badan anak gajah di tengah-tengah nya. Meskipun deras, sungai ini tidaklah dalam, jernihnya sungai ini memperlihatkan dasar sungai yang juga dipenuhi batu kerikil.
Imel melepaskan tangannya dari gue. Pola tingkahnya seperti anak kecil yang lagi mendapatkan kado hadiah ulang tahun. Gue automatis nyengir karena tingkahnya tersebut.
Namun....
"Lancang kalian berada di kawasanku!"
Imel kaget dan mengurungkan niatnya untuk menyentuh air sungai tersebut ketika mendengar suara perempuan tanpa wujud. Sama, gue pun juga kaget, trus langsung celingak-celinguk. Kami berdua pun mencari sumber suara yang terdengar cukup lantang tersebut. Hingga akhirnya, gue kemudian menyadari kalo ada sosok perempuan yang keluar dari celah batu besar.
Mata gue terbelalak....
Beberapa detik kemudian langsung mengalihkan pandangan dari sosok perempuan dari balik batu itu. Sesosok perempuan yang sama sekali tidak mengenakan busana tersebut

Komentar
Posting Komentar