06. Pertarungan Kolosal

 06. Pertarungan Kolosal.

Sosok perempuan tanpa sehelai benang pun telah keluar dari balik batu yang besarnya mampu menutupi seluruh badannya. Apa yang ada dibenak kalian? Kalo gue? Saat itu yang ada dibenak gue hanya Satu pertanyaan .... 

"Siapa sih, mega sponsor dibalik show tunggal tlanjang bulat disini? Kagak ada tempat laen apa dah?" 

Ah elah!

Maksud gue, iye ini memang sungai. Tapi kan, kagak mandi telanjang juga kalee!

Kan gue jadinya ....

Tau donk maksud gue, cuma cowok letoy bengkok yang nggak tertarik ngeliatnya. Sebenernya, gue mau aja buat ngeliatnya berlama-lama, walaupun itu dosa juga sih. Tapi disisi lain, gue terpaksa mengalihkan pandangan mata gue akan sosok tersebut. Karena ada Imel donk, gue masih jaga image gue sebagai cowok baik-baik. Yah, meskipun nggak baik-baik amat juga sih. 

Namun kehadiran sosok perempuan yang bentuk badannya gue rangkum dalam satu kata 'montok' itu, membuat gue risih dan kian merasa janggal. Seumpama gue lagi nggak bersama Melani, mungkin beda cerita. Tapi tetep aja Coi, janggal bin aneh. 

"Mel, kayaknya kita salah tempat," bisik gue ke Imel yang udah balik lagi merapat ke gue.

Setelah dibentak dengan suara tanpa sosok sebelumnya, Imel memang langsung mengurungkan niatnya untuk melepaskan dahaga. Hanya cukup Lima detik, Imel sudah bersanding lagi dengan diri ini, kembali merapatkan tubuhnya sambil memeluk lengan kiri gue. 

"Ayo kita langsung cabut aja dari sini," ajak gue masih bisik-bisik ke Imel.

Anggukan pelan Imel menatap gue sebentar, sehabis itu dia melirik lagi ke arah perempuan tersebut.

"Lang, tatapannya kayak mau marah besar gitu deh, Lang."

Gue pun mengangkat wajah gue, perempuan itu sudah berdiri diatas batu. Perempuan yang bisa sih dikatagorikan lumayan, rambut lurus tergerai panjang menutui sebagian pipi kananya. Warna coklat badannya macam sawo ranum, untuk sejenak berhasil membius mata gue. Itupun langsung gue lihat mukanya. Emang bener tergurat rasa tidak suka dengan keberadaan kami berdua disini.

"Maaf, kami tidak tau kalau disini adalah kekuasanmu, Mbak," ucap gue  sambil menundukkan kepala lagi.

Melani juga menundukkan kepalanya, kami berdua terasa sungkan untuk menatap wajah perempuan tersebut. Gue juga nggak tau harus memanggilnya dengan sapaan yang tepat itu seperti apa, yang ada di dalam benak gue hanya sebutan 'Mbak' itu. 

Gue nggak mau menunggu jawaban dari perempuan tersebut, langsung mengajak Imel untuk membalikkan badan secara bersamaan. Kami harus segera pergi dari sungai ini, walaupun rasa haus dahaga gue kembali mencekat kerongkongan. 

"Lancang kalian!" Ucap perempuan itu lagi.

"Sekali lagi kami mohon maaf, Mbak. Kami benar-benar nggak tau kalau disini kekuasanmu, mohon biarkan kami pergi dari sini, Mbak," ucap gue sudah berbalik badan dan siap melangkah.

"Kalian tidak akan aku biarkan pergi begitu saja!"

Duh, perasaan gue beneran jadi nggak tenang. Gue yakin, perempuan itu nggak main-main dengan ucapannya.  

"Hei kau bocah tengik! ... Sekali saja kau langkahkan kaki mu dari sini, ku cabut nyawa kalian satu persatu! ... Kau lah yang akan kubunuh duluan!"

Gue menatap wajah Imel yang bener udah ketakutan dengan ancaman perempuan itu. Gue menanggapinya diam, memegang tanganya lagi dan kembali mengajaknya untuk memutarkan badan kembali.

Namun….

Ebuset dah!

Kapan perempuan ini sampe didepan kami berdua yak?! Udah gitu, dia terlihat mengenakan pakaian dalam nan aduhai bener dah. Pakaian tempur yang sesungguhnya. 

Dari bagian bawah gue respek sih, mengenakan semacam lilitan kain putih yang dibentuk seperti celana, kakinya juga udah mengenakan selop item yang talinya melingkar silang sampe mata kaki. Kalo bagian atas .... 

Nah ini, gue bingung menjelaskannya. Tapi benar itulah yang dikenakannya, kutang berwarna putih. Iya kutang, kutang yang terbuat dari kain juga, melingkar melilit buah dadanya doank, meskipun samar-samar titik timbulnya masih.... 

Ah gitu deh, gue anggap kalian paham maksud gue.

Dia sudah berada beberapa langkah dari hadapan kami berdua, Imel makin ketakutan karena perempuan berambut panjang ini sudah membawa pedang, yang entah gue sendiri nggak tau, kapan pedang itu ada di genggaman tangan kanannya? 

Sejenak gue tertegun dengan tatapan mengancam dari wajah perempuan itu dan kali ini gue udah berani menatapnya langsung, meskipun ciut juga sih. 

"Kalian tidak aku izinkan pergi dari sini. Kalian sudah lancang memasuki kawasanku ... untuk itu kalian harus dihukum!" Ucapannya berbarengan dengan mengacungkan pedangnya ke arah kami berdua.

Disini, gue masih gagal fokus dengan apa yang barusan perempuan itu ucapkan. Kok gue merasa aneh ya? Masa iya gue ada di jaman pendekar Lutung Kasarung? 

Kalo emang gitu, berarti ada banyak pendekar jadul bersemayam disekitar sini donk? Ah masa' iya sih? Kalo iya, harusnya gue disini punya kesaktian juga donk, seengaknya gue dibekali pedang Naga Geni punya nya Empu Tantular gitu kek, atau Cambuk Cemeti Amal Rasuli punya nya Sembara gitulah.


~ Set! ~ 


Entah dapat ilham dari mana lagi, gue langsung memasang kuda-kuda, tangan gue lepaskan dari genggaman Imel. Gue berharap kalo gue punya kesaktian saat itu juga, setidaknya kali ini gue bakal melawan. 

Secara Coi, gue udah minta maaf sesopan mungkin, tapi malah ditantang buat tawuran. Oke, gue jabanin dah! Gini-gini gue punya rekord sebagai jawara tawuran waktu sekolah dulu. Walau bengep juga sih. 

"Rupanya ... berani juga kau!" Perempuan itu ternyata juga udah memasang kuda-kuda, tangan kirinya udah maju kedepan, seluruh jari di telapak tangannya merapat, pandangannya udah tajam siap membunuh, nafas nya gue liat cukup beraturan. Ya keliatan sih, dari gunungnya yang naik turun entuh. Tetep aja pandangan gue gagal fokus! Pffttt!

Sedangkan tangan kanannya memegang pedang lurus, siap menghujam ke arah depan, dimana ujungnya sudah bersanding langsung dengan telinga kanannya. Kuda-kuda kakinya terlihat begitu mantap menginjak kerikil di tepian sungai ini, yang udah bergerak-gerak akibat geseran telapak kakinya.  

Gerakan gue, udah gue tiru secara ngawur tentang gerakan silat Si Pitung. Gue berharap siapa tau arwah Pitung bisa nyelamatin gue. Harapan yang terasa konyolnya sih.

"Lang, kamu bisa silat ya?" Imel bertanya dengan berbisik di belakang gue.

"Dia jual, kita beli, Mel," tatapan mata gue nggak pernah luput ke arah wajah perempuan itu.

"Lang, kok firasat gue nggak enak yah."

"Marshell nggak ada disini, Mel."

"Kok Marshel?"

"Lah, masa' iya Jamrud?"

"Lang, serius donk! Ini nggak main-main, Lang," kayaknya Imel khawatir dengan keadaan yang akan terjadi selanjutnya.

"Yakin aja, Mel. Sejauh ini kita nggak salah kok. Gue yakin Allah akan bantuin kita," entah dapat keyakinan dari mana gue masih bisa ngomong kayak gitu.

Gerakan palang pintu hajatan Betawi, pleg ngawur gue tiru. Sebodo amat sama diam mematungnya entuh perempuan, setidaknya saat ini gue masih punya nyali. 

"Ayo lawan aku, bocah!" sepertinya perempuan itu geram sama gue.

Gue sebenernya masih rada takut sih, kayaknya perempuan ini bukanlah perempuan sembarangan. Tapi sebodo amatlah. Gue yakin kalo gue bener, kami sama sekali nggak berniat ngitipin dia mandi. Gue yakin kalo yang Maha Kuasa berpihak sama gue. 

Gue maju pelan-pelan, mengatur siasat gimana caranya merubuhkan perempuan ini tanpa terlalu menguras tenaga. Belum juga Lima langkah....


~ Wuuuusshhhh.... ~ 


~ Jleb! ~ 

Gue tersentak kaget, mendadak kuda-kuda gue berantakan dan hampir aja gue jatuh karenanya. Tapi perempuan dihadapan gue malah lebih sigap, bisa-bisanya dia melompat ringan setelah mendapati tombak kayu menancap miring 45° dari hadapan kami berdua. 

Gue sama Imel langsung menoleh ke arah tombak kayu ini berasal ....

"Ghegheghe ...."

Mata gue terbelalak, pun demikian dengan Imel setelah kami berpandangan untuk sejenak. Si Mbah Jahanam udah nangkring di salah Satu pucuk pohon di tepi sungai ini.

Gue rasanya mual yang teramat sangat. Sungguh, teramat menjijikan dengan apa yang gue lihat sekarang ini. Si Mbah jahanam memegang rambut dari kepala orang yang terputus dari badannya. Dari mulut kepala yang seperti kepala seorang pria itu keluar lidah yang menjulur, sebagian kulit pipinya mengelupas, mata kirinya udah hitam bolong, sedangkan mata sebelah kanannya masih terbuka. 

Si Mbah jahanam terkekeh sambil mengunyah daging hidung dari kepala tersebut. Salah Satu telinga dari kepala tersebut sudah tidak ada. Gue nggak bisa memandanginya lebih lama lagi. Gue lihat Imel sama ngerinya dengan apa yang barusan gue liat. 

"Aku tidak ada urusan dengan mu, nenek peot!" Bentak perempuan ini ke arah Si Mbah Jahanam.

Sejenak Si Mbah Jahanam terdiam tapi kemudian melanjutkan kunyahannya sambil tetap memegang kepala orang tersebut dengan tangan kanannya.  

"Oowh ... rupanya ini mainan mu, tapi aku tidak bisa menuruti kemauanmu. Aku akan bermain dengan mainanmu ini. Lagipula, mereka sudah berada di kawasannku." Perempuan ini menatap kami berdua lagi setelah dia mengalihkan pandangan dari Si Mbah Jahanam, tapi lebih sering ke arah gue sih, sedangkan gerakan kuda-kudanya belom kendor ke arah gue.

Gue bingung donk, kok tetibanya aja perempuan ini ngomong kayak gitu, padahal Si Mbah Jahanam sama sekali nggak membuka suaranya, malah asyik mengunyah santapannya.


~ Wuuuushhh....~ 


Gue melongo' 100% dengan apa yang terjadi di depan mata gue. Simbah Jahanam terbang melayang Coi! 

Iya, terbang macam di film kolosal beneran, udah kayak yang ada di film Angling Dharma dah.

 

~ Tep. ~ 


Si Mbah Jahanam mendarat mulus dengan kedua kakinya tanpa alas kaki sedikitpun. Mendarat diatas salah satu batu yang tidak terlalu besar, masih dengan gerakan mengunyah dan memegang kepala orang itu layaknya bungkus chiki. 

Posisi perempuan ini yang semula berada di hadapan kami ini pun, mengikuti apa yang dilakukan Simbah Jahanam tadi. 


~ Wushh.... ~ 


~ Tep. ~ 


Dia mendarat di tempat sebelumnya, diatas batu besar. Kali ini kuda-kuda nya diarahkan ke arah Si Mbah Jahanam. Tatapannya pun bergantian menatap kami dan Nenek itu. 


~ Wuuutt! ~


Seketika tombak yang ada berada di depan gue tercabut dengan sendirinya dan melesat cepat ke arah Si Mbah Jahanam. Sukses ditangkap sama tangan kiri nenek sakti tersebut.

Gue sama Imel berpandangan untuk sejenak, takjub dan takut menjadi Satu dalam benak kami. 

"Ghegheghe ...," nenek ini kembali terkekeh sambil menyorot matanya ke arah kami, kemudian dia mengerak-gerakan mulutnya, mengeluarkan tulang putih berukuran telunjuk orang dewasa atau memang itu sebuah tulang telunjuk.

"Nyi Carang! Aku peringatkan sekali lagi, aku sama sekali tidak perduli dengan permintaanmu.  Salahmu sendiri! Kau membiarkan buruanmu lolos dan masuk di kawasanku. Jadi, aku tidak bisa membiarkanmu merebutnya dari tanganku!" Ucap perempuan itu sambil melihat kami sejenak.

"Gheemm!" 

Gue yang baru tau kalo nama Si Mbah Jahanam itu. Gue menyaksikan amarah keduanya yang sepertinya sama-sama saling tersulut. 

"HAHAHAHA! .... Sekali lagi, aku tidak perduli! Mereka sudah di kawasanku!" Perempuan itu terbahak sebentar dan mengarahkan pedangnya ke arah Nyi Carang.


~ Wuuusssh... ~


~ Bughhh! ~ 


~ Glundung glundung... ~ 


~ Tep. ~ 


"WUUAAAAAA!!!"

Teriakan gue dan Imel kompak menggema menyaingi suara gemuruh sungai.

Apa yang dilakukan Nyi Carang yang tiba-tiba tersebut, sukses membuat gue sama Imel gemetaran takut. Hilang sudah kemampuan silat palang pintu ngawur gue tadi.

Nyi Carang membuang kepala orang yang dikunyah kulit mukanya itu ke arah kami berdua. Kepala itu mendarat dan mengelinding tepat Tiga langkah dari hadapan kami berdua. Seketika itu juga nyali gue ciut.  

Dan betapa terkejutnya lagi buat gue, Simbah Jahanam alias Nyi Carang sudah mencak-mencak memutar kayu yang panjangnya lebih tinggi dari ukuran badannya, persis gerakannya kayak Sun Go Kong. Gue menganga....

Takjub.


~ Wushhh.... ~ 


~ Ting ting wung wushh.... ~ 


Pokoknye, bunyinye gitu lah ya 


~ Wussh.... ~ 


~ Wuummm.... ~ 


Mereka berdua sudah bertarung di tempat yang sama. Iya Coi, bertarung kayak di film-film silat di TV gitu dah. Gue sama Imel bengong melihatnya.  

Kami menyaksikan pertarungan di atas batu besar tersebut dengan terkesima. Lincah bener dah, perempuan dengan pedang itu kadang melompat, menendang dan terkadang melibas pedangnya ke arah Nyi Carang. Tapi lawannya, tidak kalah gesitnya. Gerakan Nyi Carang benar-benar menakjubkan, tidak seperti yang gue bayangkan. Sempet-sempetnya entuh Si Mbah buat salto sambil ngibasin tongkat panjangnya. Baru kali ini, gue ngeliat nenek-nenek jempalitan kayak lagi maen trampolin. 

"Mel, lo sependapat nggak?" Gue udah melirik Imel yang asyik tapi ngeri-ngeri sedap melihat pertarungan di hadapannya.

"Apa, Lang?" Dia menoleh ke arah gue, dengan tatapan sedikit getir.

"Baiknya kita cabut dari sini."

Dia menjawabnya dengan anggukan.

Kami pun segera berbalik badan, meninggalkan tontonan seru dihadapan kami ini.

Tapi ....

"Lang, kok kaki ku nggak bisa bergerak?" Seketika raut wajah Imel cemas ngeliat ke arah gue.

"Iya, Mel. Gue juga," sama takutnya dengan Imel, kaki gue seakan ditarik semacam magnet besar dari bawah. 

Berkali-kali gue coba angkat, tapi sama sekali nggak bisa beranjak untuk melangkah.

"Kalian sudah kena ajian dari Yayi Kawiduri."

Gue sama Imel terhenyak dengan suara tanpa wujud lagi. Tapi bedanya kali ini suara nya seperti suara laki-laki.

"Cepat pejamkan mata kalian."

Perintah suara itu terdengar tenang.

Gue melirik Imel sejenak dan tanpa aba-aba selanjutnya kami berdua memejamkan mata.

Denting pedang dan sapuan tombak kayu tadi masih terdengar, suara gemuruh sungai juga masih terdengar. Namun lambat laun suara itu mengecil....

Dan terus mengecil....

"Jika tidak sanggup, jangan buka mata kalian sebelum aku perintahkan."

Lagi-lagi suara itu memerintah dengan sopan, tapi justru malah membuat gue penasaran donk.

"HUAAAAAAA!!!"

VANGKE!!!

Bisa putus pita suara gue kalo kayak gini terus!





Komentar