07. Petuah Dari Paklik.
"HUAAAAAA!!!"
Gue menjerit abis dengan apa yang baru aja gue alami, gue liat Imel nggak peduli dan tetap memejamkan matanya. Gue yakin, kalo Imel juga melakukan apa yang barusan gue lakukan. Tapi gue putuskan untuk tidak menutup mata, melainkan menyaksikan apa yang sedang gue rasakan saat ini.
Jadi, yang terjadi diantara gue sama Imel saat ini adalah terbang, tapi beneran nggak berasa kalo lagi melayang. Angin tuh berasa, tapi tidak kencang menerpa tubuh kami berdua. Posisi kami itu, cuma berdiri tapi masih saling berpegangan tangan, tangan kanannya Imel sudah memegang erat tangan kiri gue.
Teriakan gue kencang, tapi cuma sebentar. Saat ini, gue menyaksikan kalo badan gue melesat pelan ke angkasa. Pertarungan Nyi Carang dan Yayi Kawiduri semakin terlihat mengecil. Suara-suara disekitar gue sudah berganti suara decitan burung-burung kecil. Semakin melesat, gue semakin merasakan tabrakan angin yang menerpa rambut gue, jilbab nya Imel juga demikian.
Kaki gue rasanya semakin enteng, lebih ke arah makin lemas sih. Gue jujur, kalo gue emang phobia ketinggian sedari dulu, tapi kali ini harus gue lawan. Harga diri gue memaksa gue harus lebih jentel, apalagi waktu ngeliat Imel yang begitu tenangnya dengan kedua mata terpejam. Lambat laun sungai dibawah tadi mengecil dan sudah tertutup awan sejenak.
Tapi ternyata ....
Kami berhenti melesat.
Kampret!
Gue makin ketakutan, gue tau kalo ada sesosok laki-laki dibelakang kami berdua, tapi gue nggak berani ngeliatnya ....
Nyali gue udah ciut parah.
"Kau sanggup anak muda?" Tanya suara dari sosok ini dari belakang gue.
"Sssa ... saangg ... gup, giim ... mana ya ... mmaakk ... sud ... nyya?" Rasa takut nya gue nggak bisa gue kontrol, ketakutan gue makin menjadi setelah melihat ke arah bawah.
"Kau sanggup untuk tidak menutup mata?"
"Iii ... yyya ... aaa."
"Baiklah."
Setelah suara laki-laki
itu berucap demikian, kami bergerak lagi. Tapi ternyata kami tidak lagi
bergerak keatas, melainkan sudah berbalik arah ke arah bawah lagi. Tubuh kami
berdua mulai condong perlahan-lahan. Beberapa detik kemudian mulai bergerak
menurun, awalnya sih pelan, tapi lama-lama....
~ Wuuussshhh.... ~
"HUUAAAA!!!"
"SUUEEEKK!!!!"
"KAMBINGCONGEKKAMPRETNGEPETKEBOSINTINGSINGOGENDENGJANCUKJARAN!"
Gue meracau parah. Moment ini adalah wahana tersadis yang pernah gue rasakan. Wahana, nggak, nggak lagi-lagi gue bakal main wahana yang mirip kayak kejadian ini. Amit-amit. Ogah gue!
Keluar sudah umpatan-umpatan yang ada dalam benak gue. Gue bener-bener kehilangan kontrol tapi mata gue sama sekali nggak gue pejemin. Efeknya, air mata gue keluar lebih deras. Bulu hidung gue nyungsep kagak mau nongol akibat terpaan angin dari bawah.
Ho'oh, kami meluncur cepat ke arah bawah, lebih melesat di bandingkan naik ke atas tadi. Terpaan angin yang menampar muka gue sama sekali nggak gue hiraukan. Pokoknya mata gue tetep ngotot buat melek. Disisi lain, tas punggung Imel juga sempat mau terjatuh, akibatnya gue makin mempererat buat meluk tas punggung itu.
Meluncur ke bawah ini tidak membutuhkan waktu yang lama seperti naik ke atas tadi, mungkin karena efek gravitasi lah ya. Tapi tetep aja deh ....
Kupret!
~ Wussssh.... ~
~ Tep. ~
Pendaratan yang sempurna dari aksi paralayang gaya batu tanpa parasut ini. Sebelum melakukan pendaratan. Kira-kira Dua meter dari tanah, sosok laki-laki dibelakang kami ini memutarkan tubuh kami terlebih dahulu dengan posisi siap berdiri.
Ketika masih dalam
keadaan mau mendarat ini, gue sempat melihat tempat yang bakal menjadi tempat
mendarat nya kami. Ternyata lagi-lagi sebuah sungai, kemungkinan besar sungai
yang sama tapi berbeda tempat dengan arena pertarungan Nyi Carangka dan Yayi
Kawiduri tadi. Kali ini sungainya lebih tenang, ada riak airnya tapi tidak
begitu kencang, mungkin disini adalah bagian hilir sungai.
Ketika kaki gue mulai menyentuh daratan berupa batu kerikil di tepian sungai ini, gue langsung melepaskan tas punggung serta tangan gue dari Imel. Gue berjalan oleng menuju tepian sungai, sejurus kemudian gue berlutut dengan tangan sudah menyentuh tepian sungai.
"Hhooeggh!"
Hadeh....
Gue jackpot. Keluar sudah isi perut gue. Udah laper, haus, pegel, eh sekarang malah muntah pulak. Berkali-kali gue memuntahkan isi perut yang mualnya ampun dah.
"Gilang!" Gue sempet noleh sebentar ke arah Imel yang udah kelihatan panik sambil merogoh tasnya.
Tak lama kemudian dia sudah datang membawa minyak kayu putih di tangannya.
"Kamu sih ... ngeyelan banget jadi orang!" Imel udah memijat-mijat tengkuk gue sambil menggerutu.
"Lain kali, kalo orang ngomong itu di dengerin, nurut! ... Nggak usah sok jagoan!" Omelan Imel semakin menjadi tapi tetep aja menekan-nekan tengkuk gue. Bau minyak angin juga udah menyeruak di sekitar kepala gue.
Imel telaten bener mengolesi tengkuk dan pelipis gue pake minyak angin. Sempet tuh gue noleh sebentar ke arah dia, mukanya udah cemberut aja, tapi masih sempat ngeliatin gue balik.
"Untung aja udah di dekat air lagi. Sekalian tuh ... kamu minum air nya, biar mendingan," perintah Imel sambil menggerakkan kepalanya ke arah tepian sungai.
Belum juga sempat gue menyatukan kedua tangan gue buat mengambil air....
"Jangan!"
Suara bentakan dari arah belakang kami berdua, membuat kami seketika itu juga menoleh ke arah suara itu berasal.
Dialah yang membawa kami melesat pelan ke angkasa tanpa menyentuh punggung kami sama sekali. Iye, dia juga yang udah sukses membuat gue tengsin abis gegara aksi meluncur gendengnya tersebut. Seorang laki-laki berusia sekitar Lima puluh tahunan. Bertubuh proporsional, memiliki kumis beruban, tebal tapi berjejer rapi, di dagunya juga terpampang janggut tipis berwarna putih.
Kepalanya mengenakan lilitan kain sorban berwarna hitam. Pakaian yang ia kenakanan baju putih polos berlengan panjang, sedangkan bawahannya hanya mengenakan celana hitam polos senada dengan penutup kepalanya, panjangnya hanya sebatas mata kaki, celana syar'i lah ya. Dan beliau sama sekali tidak mengenakan alas kaki.
Wajahnya begitu ramah, apalagi ketika beliau menyunggingkan senyuman ke arah kami. Bentakan sebagai peringatan yang keluar dari suaranya tadi, langsung hilang sekejap setelah beliau tersenyum. Beliau seolah-olah memperingatkan kami untuk tidak gegabah dalam bertindak.
Terdapat tabung dari bambu dengan lebar sekitar Lima jari orang dewasa, sedangkan panjangnya sama persis dengan panjang tangannya. Bambu tersebut diikat kedua ujungnya oleh tali yang terbuat dari serat rotan. Bambu yang terselempang tegak lurus dengan tangannya tersebut, dilepaskannya dengan begitu tenangnya. Beliau perlahan menghampiri gue sama imel, sambil menyodorkan bambu tersebut kepada kami.
"Kalian berdua harap dengarkan ucapanku baik-baik. Janganlah kalian sembarangan memakan atau meminum semua yang ada disini. Karena disini bukanlah alam yang pantas untuk manusia seperti kalian," ucapnya masih dengan senyum mengembang sembari memberikan bambu tersebut kearah gue.
Gue beranjak untuk berdiri dan menerima bambu setengah meter tersebut. Beliau kini hanya berdiri tidak kurang dari 100 cm dari hadapan gue. Gue dan Imel saling berpandangan untuk sejenak .
"Jangan takut, air ini adalah air minum yang diambil dari alam kalian seharusnya berada," ucapnya lagi.
Kemudian gue mengamati bambu tersebut. Ternyata botol air tah? Dimana airnya yak? Gue puter-puter kok nggak nemu celah buat minumnya? Baru aja mau gue goncangin bambunya ....
Imel keburu menyambar
dengan pelan bambu tersebut dari tangan gue. Aduh Gusti! Malu gue. Imel dengan
mudahnya membuka derat nya, persis berada pada ruas paling atas bambu tersebut.
~ Plup. ~
Pucuk bambu bagian atas
sudah menjadi tampungan air berupa cangkir, sedangkan sisanya menjadi tampungan
air. Imel menuangkan pelan air dalam bambu tersebut buat gue.
~ Currr.... ~
Gue sempat melihat
sebentar ke arah laki-laki kharismatik tersebut. Beliau tersenyum,
mempersilahkan gue dengan gerakan tangan kanannya mengayun pelan dari bawah ke
atas, sejajar dengan perutnya, semacam kode buat gue untuk menenggak air bening
dalam cangkir bambu tersebut.
~ Gluguk gluguk...
~
"Aahhh.... "
Ya Allah....
Seger banget Coi. Dahaga gue langsung lenyap seketika itu jua.
"Mel, seger banget, Mel," ucap gue berbinar-binar sambil ngasih cangkirnya ke Imel buat gantian.
Melani tersenyum manis,
dia udah ikutan kesentrum dari ceria nya gue. Dia pun melakukan tindakannya
sebelumnya dan melakukan hal yang sama.
~ Gluguk gluguk.... ~
Nggak pake aahhh!
"Iya, Lang. Seger banget yah," balasnya yang juga ketularan sumringah, mirip iklan air Aq*tiiitiitt*a.
Kami menoleh lagi ke arah pria asing tersebut.
"Seger, Paklik. Makasih ya, Paklik."
Beliau masih tersenyum lebih lebar dari sebelumnya mendengar ucapan tulus dari gue.
"Ambilah ... tapi pergunakan dengan bijak. Perjalanan kalian akan banyak menyita tenaga, jadi pergunakanlah sebaik-baiknya," ucapnya dengan nada yang begitu santun.
"Sini, Nduk," Paklik meminta Imel lebih dekat ke arahnya.
Imel pun mendekat ke arah Paklik, sempat gue amati sejenak kalau terselip keraguan dari raut wajah Imel. Ya wajar sih, Nyi Carang aja awalnya terlihat baik, tapi hadeh....
Jijay laknatullah.
"Ambillah bungkusan ini, Nduk. Ini juga bekal untuk perjalanan kalian," ujar Paklik sambil mengeluarkan semacam bungkusan daun pisang yang di lipat sedemikian rupa dari balik punggungnya. Sejenak gue takjub sih, orang ini pesulap kali yak?
"Ini apa ya, Paklik?" Imel udah ikut-ikutan memanggil beliau kek gitu juga.
"Makanan ini juga berasal dari alam kalian. Makanlah ... kemudian simpanlah dalam kantong besar yang kalian bawa itu," perintah Paklik sambil melihat tas punggungnya Imel.
Imel pun membuka bungkusan dari daun pisang tersebut. Isinya adalah....
Enk ink enk...
Singkong rebus yang sudah dingin, sodara-sodara....
"Boleh kami makan, Paklik?" Celetuk gue berbinar-binar mellihat singkong rebus tersebut.
Paklik tersenyum dan
mengangguk pelan buat gue. Ya jelas gue embat donk.
~ Nyam nyam nyam.... ~
Masya Allah ....
Nikmatnya sungguh pilih tanding, sodara-sodara!
Pizza mah lewat, spagheti apalagi. Pokoknya mah, mak nyos pisan eui.
Imel pun demikian, mengikuti tindakan gue buat mengunyah singkong rebus tersebut.
"Ingat, pergunakanlah dengan bijak," pesan Paklik yang memaksa gue menghentikan buat mengambil sepotong lagi. Imel juga langsung menutupnya dan mengambil tas punggungnya.
Bungkusan tersebut sudah ada didalam tas punggung Imel. Kemudian ia kembali merapat ke arah gue dan Paklik.
"Berhentilah sebelum kenyang," ucap Paklik pake senyum ke arah gue dan Imel.
Kami berdua tersipu dengan peringatan dari Paklik. Beliau kemudian berbalik arah dan berjalan pelan menuju salah Satu akar pohon yang menjulang di tepian sungai ini. Paklik sudah duduk dengan punggung terlihat menyender pada pangkal pohon tersebut, sedangkan kaki nya terlihat tegak lurus dengan akar pohon tersebut
Beliau kemudian tersenyum sembari melihat ke arah kami yang juga telah mengikuti jejak langkahnya. Imel sudah duduk dengan cara melipat kedua kakinya, memegang tas punggung yang dibawa nya serta. Gue juga udah duduk bersila disamping kanan Imel sambil memangku botol bambu tadi.
"Kalian aku perkenankan untuk memanggilku dengan sebutan yang kalian inginkan. Perjalanan kalian nanti akan terasa berat. Kalian akan menghadapi rintangan yang bisa saja mengambil nyawa kalian. Untuk itu, agar kalian bisa keluar dari sini, kalian harus bersungguh-sunguh untuk menghadapinya," Paklik membuka penjelasan ke arah kami berdua secara bergantian mengamati wajah kami.
"Satu hal yang perlu kalian ingat. Untuk dapat keluar dari sini, kalian harus tetap ikhtiar dan berdoa. Nduk, kewajiban utama sebagai hamba Illahi itu, apa, Nduk?"
"Shalat, Paklik," jawab Imel dengan sigapnya.
"Benar ... dan untuk itu, sudah kupersiapkan untukmu, Nduk."
Yakin gue, Paklik pesulap canggih dah. Deddy Corbuzer mah lewat. Takjub terpukau gue sama aksinya. Paklik melakukan hal yang sama seperti beliau memberikan bekal bungkusan singkong tadi.
Sekarang dihadapan kami berdua sudah terdapat mukena putih dan kitab suci Al-qur'an. Imel kali ini tidak ragu untuk menerimanya. Gue juga bertambah yakin, kalo Paklik berada di pihak kami berdua.
"Ngger ... sebagai laki-laki, tugasmu apa, Ngger?"
Gue berpikir sejenak..., "menjadi seorang imam, Paklik."
"Sudah sanggup, Ngger?"
"Insya Allah, Paklik."
"Mentalmu sudah teruji belum, Ngger?" tanya beliau dengan senyum merekah.
Kena deh gue. Pffttt!
Muka gue merah menahan malu. Gue cuma bisa nyengir menanggapinya.
"Hehehe..," beliau akhirnya tertawa santai.
Sungguh teganya engkau nge-prank gue tadi, Paklik.
"Kalian juga harus bersabar, karena masih bersambung."
Pffttt!

Komentar
Posting Komentar