08. Tujuh Malam.

08. Tujuh Malam.


"Kalian harus bersabar, ini adalah cobaan yang harus kalian hadapi bersama."

Gue sama Imel menyimak penjelasan Paklik dengan seksama. Saat ini, beliau tidak ubahnya seperti seorang guru yang memberikan penjelasan kepada muridnya. 

"Apakah di alam ini,  kami mempunyai ilmu kanuragan juga, Paklik?" Tanya gue dengan menyela Paklik sejenak dari penjelasannya. Iye, gue tau, pertanyaan gue emang konyol.

Beliau tersenyum sambil menggeleng pelan. 

"Yahh ... padahal bakal musuh kami nantinya kan sakti semua tuh. Masa' kami nggak sakti juga?" Gue masih ngerasa nggak adil dengan keadaan ini donk.

"Baiklah, sedikit akan aku jelaskan kepada kalian. Ngger, Nduk, ... kalian berdua sudah tidak berada pada alam manusia semestinya. Nyi Carang yang sudah menjebak kalian untuk masuk ke alam ini. Nafsu amarah adalah yang menjadi penyebab mudahnya kalian berdua masuk ke dalam jebakan Nyi Carang. Jadi, tidak ada kaitannya kesaktian apapun dengan kejadian ini."

 

Gue menyelaraskan penjelasan Paklik dengan kronologi kecelakaan kami berdua. Memang ada klopnya sih. Amarah gue memang udah membuncah pada malam itu. Kalo Imel, gue nggak tau sih. Gue bakal nanyain itu sama Imel nanti. Tapi mah tetep aja atuh, Nyi Carang mah gelo' pisan, blegug sia eta mah!

"Anu, Paklik, maaf saya mau tanya lagi, Paklik. Nyi Carang itu, apakah menjebak kami untuk dimakan ya, Paklik?" Beliau tersenyum lagi dengan pertanyaan gue. 

"Lang, nggak sopan ih," Imel udah bermuka menggerutu ke arah gue.

Ya gue rasa, Paklik adalah orang yang tepat untuk menanyakan hal ini. Secara donk, beliau kan salah satu orang sakti, ye nggak? Apalagi, gue udah nyaman dengan kehadiran beliau ini. Tapi kayaknya buat Imel, pertanyaan gue bukanlah pertanyaan yang tepat untuk saat ini.

"Ngger, perlu kalian ketahui, Nyi Carang bukanlah manusia seperti yang kalian lihat. Nyi Carang termasuk golongan sepertiku. Hanya saja ... kami berdua berbeda atas apa yang kami sembah," ucap Paklik ... yang sungguh diplomatis sekalee....

Gue mengangguk-angguk mencoba untuk mencerna penjelasan Paklik. 

"Berarti ... apakah Paklik termasuk golongan jin muslim?" tanya Imel seketika.

Hah? Jin?

Gue tersentak kaget dengan pertanyaan Imel. Paklik masih tersenyum sambil melihat gue dan Imel secara bergantian. 

Akan tetapi, Paklik tidak menjawab pertanyaan Imel tersebut. Malah, paklik mengulangi aksi sulapnya. Kali ini, beliau mengeluarkan semacam kantong kain berwarna hitam sebesar kantong plastik, yang pucuknya juga sudah diikat dengan tali hitam. Beliau memberikan kantong kain hitam tersebut ke arah gue. 

"Ini, ambillah."

"Apa ini, Paklik?" 

"Bukalah, Ngger ... sekali lagi, pergunakanlah juga dengan bijak."

Gue akhirnya membuka kantong tersebut. Ternyata isinya adalah setumpuk garam, lebih tepatnya garam halus yang bercampur dengan garam kasar.

"Garam, Paklik?" Tanya gue.

Kan gue bukan Chef Juna, ngapain gue di kasih garam yak?

"Garam itu buat apa, Paklik?" Imel juga ikut penasaran.

"Pergunakan sebelum kalian tidur, taburkan melingkar pada sekitar tempat yang akan kalian gunakan untuk beristirahat pada malam hari. Maka kalian akan tahu kegunaanya pada saat tersebut," jelas Paklik sambil memandangi kami secara bergantian lagi.

"Perlu kalian ketahui juga, waktu kalian berada di sini hanyalah Tujuh malam. Dan sepertinya, waktu yang kalian punya hanya tinggal tersisa Enam malam lagi," ucap Paklik kali ini dengan mimik wajah serius.

Jelas belum begitu lama gue kenal sama Imel, tapi chemistry yang terjalin antara gue sama Imel sudah semakin terasa klop. Berapa kali sudah terjadi, contohnya lagi kali ini, gue sama Imel langsung melirik Satu sama lain setelah Paklik berucap demikian.

"Tujuh malam ... kenapa harus tujuh malam, Paklik?" Gue yang langsung berinisiatif mengajukan pertanyaan ini.

Paklik tersenyum sejenak dengan pertanyaan gue tersebut. Kumis yang berbaris rapi di atas bibirnya mengembang dengan gerakan senyumnya tersebut.

"Ketahuilah, Ngger ... kalian bukanlah satu-satunya manusia yang pernah masuk kesini. Ada yang sengaja berniat masuk kesini, ada yang sombong dengan kemampuan yang ada dalam dirinya, ada pula yang dijebak seperti kalian. Khusus manusia seperti kalian yang tidak punya kemampuan untuk menembus dinding ghaib, lebih cepat lebih baik untuk keluar dari sini ... atau kalian akan selamanya berada disini," jelas Paklik sambil mengelus kumisnya tersebut dengan ibu jari dan telunjuk tangan kanannya.

Gue masih menyimak penjelasan Paklik dengan seksama, tapi tidak dengan Imel. Gusar dari raut wajahnya nampak sekali ia perlihatkan. Gue yakin kalo Paklik juga sudah menyadarinya.

"Jika lebih dari Tujuh malam, aku tidak yakin kalian akan selamat berada di alam ini. Dengar baik-baik, Ngger, Nduk, ... golongan kami tidak semuanya menghamba kepada Allah Yang Maha Esa. Kalian adalah makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk seperti kami," petuah Paklik semakin terasa seperti kultum buat gue. 

Entah mengapa, gue sangat tertarik mendengarnya. Baru kali ini gue antusias mendengar nya. Iye, gue ngaku kalo gue orangnya bebal tapi tidak untuk saat itu.

"Paklik, dimana tepatnya jalan keluarnya? Bisakah Paklik membantu kami untuk segera keluar dari sini?" Tanya Imel dengan wajah yang kian tersirat kecemasan.

Gue cukup salut sama pertanyaan cerdas dari Imel tersebut. Paklik tertegun sejenak dengan pertanyaan Imel barusan. Beliau menyempatkan tersenyum lagi, kemudian menjawab dengan nada ramah dan santun....

"Maaf, Nduk. Kemampuanku bukan untuk membantu kalian seutuhnya disini. Aku juga bukanlah orang sakti seperti yang kalian pikirkan. Untuk jalan keluar dari sini, tidak seperti yang kalian pikirkan berupa pintu ataupun sebuah gerbang. Untuk manusia seperti kalian, maka kalian akan menemukannya dengan cara yang berbeda-beda dan tak terduga. Percayalah, hanya ikhtiar dan doa dari hati nurani suci kalian yang bisa mengeluarkan kalian dari sini. Kelak, kalian akan tahu jalan keluarnya dari sini."

Imel menunduk ketika mendengar jawaban yang jelas tidak seperti diharapkannya, tentu bagi gue juga begitu. Gue sendiri sudah menaruh harapan yang sama seperti Imel terkait bantuan dari Paklik. Padahal, baru berapa menit kami mengenalnya, simpati gue sudah seutuhnya untuk Paklik. Pokoknya mah, gue siap jadi buzzer nya Paklik! Itu sudah!

"Tapi, Paklik. Tadi Paklik mampu membawa kami ke angkasa, berarti kan Paklik sakti donk?" Keresahan imel gue wakilkan dengan pertanyaan berbobot gue. Iyain aja ya. Pffft!

Paklik menahan tawa nya dengan sebentar, sepertinya pertanyaan gue emang canggih. Ah elah, iyain aja napa sih? Ribet amat dah!

"Kebetulan saja tadi aku melintas, Ngger. Aku pasti akan membantu sebisa ku untuk manusia seperti kalian. Kalian sengaja aku pindahkan kesini, tapi bukan untuk membantu kalian mencari jalan keluar dari sini," Paklik menjawabnya dengan begitu arif nya....

Sampe gue gagal paham. 

"Yah ... berarti Paklik gak niat bantuin kami donk," gue mencoba negosiasi halus buat nenangin Imel tentunya.

"Bukan seperti itu, Ngger. Dulu pernah ada seorang perempuan yang sama dengan keadaan kalian. Karena iba, aku mencoba untuk membantu nya sampai menuju Tujuh Malam. Tapi setelah tujuh malam ... dia malah tidak pernah keluar dari sini," ucap Paklik pake wajah sendu. Padahal, penjelasannya itu malah bikin cemas gue sama Imel.

"Nduk, Ngger ... Aku tetap akan membantu kalian meskipun tidak bisa sepenuhnya. Akan aku tunjukkan caranya menemukan jalan keluar dari sini," ucap Paklik yang seketika membuat gue dan Imel kembali menengadahkan kepala. 

"Kalian pasti paham caranya bersuci, bukan?"

Gue dan Imel menganggukan kepala secara serentak.

"Maka lakukanlah sekarang," perintah beliau dengan tatapan sejuk.

"Tapi, Paklik. Katanya tadi tidak boleh menelan apapun yang terdapat dari sini," ucap gue sembari menatap ke arah sungai.

"Wudhu ... air nya bukan berarti untuk diminum. Sekalipun tidak sengaja terminum sesuatu di alam ini, segeralah memohon ampun dan kembali meluruskan niat untuk bersuci dan menunaikan kewajibanmu."

Mendengar penjelasan Paklik tersebut, Imel segera beranjak dari tempat duduknya....

Yak! Imel sudah terlebih dahulu beranjak untuk melakukan apa yang di perintahkan Paklik barusan. Gue pun mengekor atas apa yang dilakukan sama Imel. Gue baru saja menghampiri tepian sungai, sedangkan Imel sudah selesai dengan wudhunya dan langsung beranjak ke arah Paklik lagi. Gue sempat mendengar Paklik berbicara lirih kepada Imel. 

Ketika gue sudah selesai berwudhu dan sudah berada kembali dengan mereka, gue dapati Imel sudah mengenakan mukena putih pemberian dari Paklik. Selain itu, Tiga batang lidi sudah dia pegang.

"Buat apa lidinya, Mel?" Tanya gue ke Imel.

Tapi Imel tidak menjawab pertanyaan gue, cuma senyum tipis yang dia tampilken.

"Sekarang gunakanlah pakaian yang kalian kenakan sebagai alas untuk beribadah, selain itu cari lah tempat yang di rasa suci untuk melakukan Shalat," ucap Paklik yang kali ini sudah berdiri tepat di hadapan gue.

Gue dan Imel memgangguk atas apa yang diperintahkan sama Paklik.

"Kalian siap untuk menemukan arah jalan keluarnya?" tanya Paklik.

"Iya, Paklik," jawab Imel.

"Siap, Paklik, " jawab gue kemudian.

"Pejamkan mata kalian ... dan berputarlah Tiga kali ke arah kanan. Selanjutnya, tunjuklah sebuah arah dengan tangan kanan kalian. Itulah arah Kiblat sekaligus arah jalan keluar dari sini."

Gue dan Imel langsung melakukan apa yang dianjurkan oleh Paklik.

"Ingat pesanku, berserah diri lah kepada Allah. Apa pun yang akan terjadi, hanya atas kehendak-Nya lah semua terjadi."

Beliau berucap demikian selagi kami berputar. Setelah berputar Tiga kali, gue pun menunjuk sebuah arah, dan kemudian membuka kedua mata gue.

Ajib!

"Masya Allah," Imel terkejut, gue juga demikian.

Kedua tangan kami menunjuk arah yang sama, ke arah depan moncong sedikit ke kanan, di ibaratkan arah jarum jam, menunjuk arah pukul Dua.

Dan Paklik sekarang sama sekali sudah tidak ada bersama kami. Sejenak gue dan Imel terkejut dengan menghilangnya Paklik secara tiba-tiba tersebut. Tapi kemudian Imel lebih memilih bersikap optimis kemudian berkata ....

"Lang ... jadi Imam buat ku sekarang ya."

Entah perasaan gue aja, atau memang skenario semesta ... 

Gue baper Coi.

Ucapan dan wajah Imel ....

Sama syahdunya menyentuh sanubari gue.

 

°

°°

°°°

°°

°

Gue memang yakin kalo shalat yang gue tunaikan bersama Imel adalah shalat Ashar, artinya hanya beberapa jam menuju shalat Maghrib. Kami melanjutkan perjalanan menuju arah yang kami tunjuk tadi. 

Arah Kiblat yang kami tunjuk ternyata harus membuat kami untuk berpisah dengan aliran sungai dan itu artinya tantangan kami adalah tidak akan mulus. Setidaknya itulah yang gue bayangkan 

Kali ini kami tidak bergandengan tangan, hanya berjalan berdua beriringan melintasi semak belukar yang semakin rimbun. Banyak pohon yang tingginya kurang lebih Lima meter dari tanah,  menjadi perlintasan kami berdua. Disini kehidupan alam liar semakin gue rasakan, sudah banyak hewan-hewan yang melintas lalu lalang di hadapan kami berdua 

Mulai dari seringnya kawanan burung yang hinggap dan berterbangan, gue juga nggak paham jenis burungnya apaan, ada yang berwarna-warni, ada juga yang dominan warna tubuhnya gelap. Selain itu, sudah Dua kali kami berpapasan dengan ular yang melingkar pada dahan pohon, sama sekali kami nggak berniat mengusiknya. Ada pula kawanan Kera yang melintas, melompat-lompat ... seolah-olah juga menyadari keberadaan kami.

"Hari sudah makin gelap. Kita mau bermalam di mana, Lang?" 

"Dari tadi gue juga lagi mencari tempat yang bagus buat itu, Mel. Gue sih dimana aja oke, asal lo juga bisa nyaman," ucap gue masih menatap lurus kedepan dan melangkah ringan. 

"Lang,"

"Iya Mel?"

"Kalau benar kita berada di alam lain, apakah wajar kalau kita merasakan apa yang seharusnya kita rasakan?" Tanya Imel sambil tetap menatap ke depan.

Gue nggak langsung jawab, soalnya pertanyaan Imel kok berasa macam pertanyaan dosen yak?

"Maksudku ... bukankan kita tidak merasakan hal-hal yang bersifat manusiawi?" Tanya Imel yang kali ini udah noleh ke arah gue.

"Manusiawi? Kan kita tadi ngerasa lapar dan haus, Mel. Berarti ya kita masih ngerasain hal-hal yang bersifat manusiawi lah."

"Iya, betul, aku juga tadi merasakan kayak gitu juga ... tapi ..," Imel nggak ngelanjutin ucapannya.

"Tapi apa?"

"Kamu ngerasain juga nggak? Apa yang aku rasain sekarang?" Imel menghentikan langkahnya.

"Maksudnya gimana sih, Mel?" 

"Aku ... aku ... kebelet pipis, Lang."

Gubrak! Ah elah, ribet amat sih! Mau pipis aja pake pertanyaan berbobot pulak. 

"Ya kalau mau pipis, ya tinggal pipis aja kali, Mel."

"Tapi disini bukan tempat sembarangan, Lang. Lagian kalo mau pipis ... aku, aku ... nggak terbiasa di tempat kayak gini, Lang," Imel terlihat beneran kayak nahan pipis plus bingung.

"Kalo mau pipis mah, pipis aja kali Mel, jangan dibikin ribetlah."

"Eh tapi tunggu dulu, cewek kalo pipis pasti pake air kan ya?" Gue barulah sedikit ngeh dengan maksud Imel.

"Yee ... cowok juga harus gitu kali Lang. Kamu kebelet juga nggak?"

"Nggak terlalu sih. Gue paham maksud lo. Lo nggak punya air buat cebok ya?"

"Nggak gitu Gilaanng! ... Aku malah udah nyiapin air dari sungai tadi buat jaga-jaga."

"Kapan?"

"Tadi habis sholat, kamu masih doa, aku udah nyiapin air nya. Duh, gimana ya?" Imel tambah keliatan bingung nggak jelas.

"Ya udah kalo gitu, pipis mah pipis aja. Tunggu apa lagi?

"Ya itu dia, aku pipisnya dimana?" Imel kayaknya udah kebelet banget.

Gue liat sekitar, ada semak-semak setinggi pinggang, di sampingnya ada pohon gede. Pohon itu berada pada arah pukul Sepuluh dari hadapan gue.

"Noh ada pohon, pipis aja disitu. Gue tungguin dekat pohonnya," Tunjuk gue ke arah pohon itu.

"Kamu yakin?"

"Yakin lah, kan lo sendiri yang bilang kalo kita masih manusia. Ya udah, buruan gih, buang itu  hajat lo.”

Imel masih kelihatan ragu-ragu sejenak, tapi tidak lama kemudian udah merogoh tas nya. Botol Tu*tuuttt*re udah di pegangnya, kayaknya bener dia udah ngisi botol tersebut dengan air sungai tadi. 

"Ya udah tungguin ya, awas jangan pergi jauh-jauh!" Gue di ancam Imel yang sudah ambil ancang-ancang berlari ke arah semak-semak itu.

"Ya nggak lah, Imeeeel. Gue nggak akan kemana-mana."

Imel nggak menggubris omongan gue, dia udah meluncur aja bawa botol itu berlari ke arah semak-semak itu. Gue cuma nyengir doank ngeliat dia udah beneran nggak bisa nahan pipisnya.

Gue membawa tabung bambu yang udah gue selempangin kayak bawa tas, sedangkan tas punggungnya Imel juga udah gue tenteng. Gue berjalan mendekati pohon tempat Imel melepaskan hajatnya.

"Lang," suara Imel menyapa dibalik semak-semak.

"Iye, Mel. Gue disini, ah!"

"Awas jangan tinggalin aku loh."

"Kagak mungkinlah, gue kan juga butuhin lo."

Keadaan sunyi untuk sejenak.

"Lang, kamu masih disitu kan?"

"Iya, Mel. Gue masih disini."

"Lang ...."

"Apa sih, Mel? Gue masih nungguin lo kok."

 

~ Srek! ~

 

~ Krasak krasak ~

 

Terdengar suara semak belukar yang sudah diterabas kasar dari arah belakang gue. Gue pun membalikkan badan. Imel sudah terlihat berjalan cepat tergesa-gesa dengan celana jeans nya sudah terlihat beberapa bercak bekas percikan air. Muka Imel terlihat pucat sambil terengah-engah ke arah gue.

"Mel, lo kenapa?" 

"Imel, lo kenapa sih?" Sekali lagi gue bertanya ke Imel.

Namun pertanyaan gue nggak di tanggapi sama Imel, dia makin terburu-buru berlari sambil memegang botol nya ke arah gue. Dia langsung menyambar tas punggungnya dan dengan cepat pula menggenggam tangan kanan gue.

"Udah, udah, ayo buruan kita pergi dari sini," Imel makin kelihatan seperti orang ketakutan. 

Gue yang makin penasaran langsung menoleh ke arah Imel buang air keseniannya tadi.

Cieee ....

Ada yang penasaran juga. Pffttt!



Komentar