09. Mati!
Gue sebenarnya penasaran, apa yang membuat Imel terlihat sangat ketakutan sampai seperti itu? Terlebih, ketika tangan gue udah ditarik kencang sama Imel buat berlari. Tindakannya itu, sama sekali nggak menyurutkan sedikitpun rasa penasaran gue. Sambil terus berlari, gue tengok ke arah belakang, ke arah tempat Imel buang air kecil disamping pohon tadi.
Gue nggak ngerti itu pohon apaan, tapi
jelas berbeda dengan jenis pohon waktu gue merintih meminta pertolongan sebelum
di jemput Nyi Carang. Pohon tersebut menjulang cukup tinggi dengan cabang-cabang yang cukup
banyak. Arah pandangan gue kembali turun ke arah pangkal pohon tersebut.
~ Deg! ~
Seorang perempuan dengan rambut panjang tergerai, mengenakan gaun terusan berwarna hitam pekat sampai mata kaki nya. Wajahnya putih seputih awan, macam di formalin dah. Dari matanya keluar semacam darah yang merembes dari kelopak matanya. Dia terdiam menatap gue semenjak keluar dari balik pohon tersebut.
Sekarang gue paham atas ketakutan yang dirasakan oleh Imel. Gue nggak mau menatap lagi ke arah perempuan tersebut. Firasat gue kayak memasrtikan kalo itu bukan manusia. Gue makin mantap untuk berlari sambil bergandengan tangan sama Imel.
"Ayo, Lang ... hosh ... kita harus ... hosh ... cepet ... pergi dari ... hosh ... sini," sambil terengah-engah Imel ngomong kayak gitu.
"Iya," gue jawab singkat, gue nggak mau ngabisin nafas berlari sambil ngomong.
Kami terus berlari semakin menjauh dari keberadaan perempuan tersebut. Jujur, masih terselip rasa ngeri dalam benak gue, padahal cuma sekilas doank gue ngeliat mukanya.
Gue berlari sambil tetap menggandeng Imel yang sepertinya sudah kelelahan. Sejenak gue menghentikan langkah setelah terasa cukup jauh jaraknya dari sosok perempuan tadi.
"Apaan ... hosh ... itu ... hosh ... tadi, Mel?" Gue udah melepaskan tangan Imel dengan posisi kayak ruku' buat mengatur nafas.
"Nggak tau ... hosh ... aku ... hosh ... Lang," Postur tubuh Imel juga sudah seperti gue.
"Kayaknya ... hosh ... kita udah ... jauh ... hosh ... dari dia," ucap Imel yang sudah mengangkat lagi tubuhnya.
"Moga aja gitu," gue juga mengangkat badan dan melihat ke arah Imel.
Yang gue dapati Imel udah balik pucat lagi, sigap tangannya langsung memegang tangan gue. Imel melihat ke arah samping kanan gue, reflek gue melihat samping kanan gue juga.
"Mmaa ... ttiii ...."
Disamping sebuah pohon, sosok perempuan bergaun hitam pekat tersebut sudah berada beberapa langkah dari samping kanan gue. Dia sudah mengacungkan sebuah belati yang ujungnya penuh darah. Tatapannya penuh amarah ke arah kami berdua.
Imel mau mengajak gue buat berlari lagi. Tapi gue berniat tidak akan berlari dari perempuan ini, walaupun rasa takut gue masih menjalar ke seluruh tubuh.
"Apa ... mmaau ... lo?" Tanya gue sambil tetap memberanikan diri.
"Lang, ayo ih, ngapain pake ditanyain segala?!" Imel tetap memaksa gue untuk berlari lagi.
"Mati ... mati ... mmaaa ... ttiii," ujar perempuan tersebut bersuara lirih, yang kali ini mulutnya sudah di penuhi dengan darah, air mata darah juga sudah merembes pelan di wajahnya.
"Apa salah kami? Lo nggak berhak bunuh kami?!" Gue semakin berani untuk melawan ketakutan gue sama setan ini.
Perempuan itu terlihat marah dengan ucapan gue. Matanya semakin menyorot tajam ke arah gue.
~ Wussshh! ~
Seketika itu juga belatinya melesat deras ke arah gue. Gue sama sekali tak mengelak dari lesatan blati yang semakin jelas arahnya ke arah kepala gue. Sekilat itu juga....
"GILANG!" Pekik Imel di samping gue.
Imel menarik tangan gue dengan paksa, kekuatan tarikan tangan Imel membuat gue setengah terseret paksa kearah Imel.
~ Jleb! ~
Seretan paksa dari tangan Imel membuat gue tertarik ke arah depan. Mungkinkah ini suatu keberuntungan yang kebetulan? Gue nggak tau. Yang jelas belati tersebut udah melewati bagian balakang gue. Pisau belati tajam dengan ujungnya sedikit bergerigi tersebut, sudah menancap pada batang pohon yang sejajar dengan kepala gue sebelumnya.
"Jangan bodoh! Ayo pergi, keburu malam!" Imel geram sama gue ditengah ketakutan nya.
"Mati!" Perempuan itu kali ini melotot ke arah gue, membuat bulu kuduk gue berdiri seutuhnya.
~ Wuuussshhh ~
~ Drap ... drap drap ~
Gue nggak menghiraukan ancaman dari matanya tersebut. Gue udah melesat cepat, yang kali ini sudah menyeret tangan Imel untuk semakin mempercepat langkah.
Terus dan terus berlari tanpa menghiraukan sekitar, itulah yang kami lakukan berdua. Gue tau kecepatan kami berdua dalam berlari tidak lah secepat tadi. Nafas kami yang tidak beraturan semakin menderu. Pohon-pohon di sekeliling kami semakin kesini semakin berkurang, tinggalah semak belukar setinggi badan kami yang menggantikannya.
Kami berdua tidak menghiraukan lagi mana jalan yang bisa kami tempuh dan terkadang juga tersayat semak belukar. Gue hanya berpikir untuk berlari terus ke depan, nggak perduli semak belukar yang kian rimbun, terus gue hajar pake derapan langkah kaki gue.
Nafas Imel terdengar sangat terengah-engah. Setan perempuan tadi jelas sekali berniat membunuh kami, itu cukup menjadi alasan gue untuk terus menjauhi hutan ini. Terlebih lagi setelah menerobos semak belukar ini, langit diatas kami sudah mulai terasa gelap. Ilmu menakar waktu gue mengisyaratkan kalau sekarang sudah mendekati waktu maghrib.
Gue terus berpacu dengan waktu beserta harapan agar tidak berjumpa lagi dengan perempuan bergaun hitam tadi. Rasanya sudah cukup jauh kami berlari dari perempuan bergaun merah tersebut.
"Bentar ... hosh ... Mel," gue berhenti sejenak dan mengeluarkan tabung bambu yang gue bawa.
~ Gluguk! gluguk! ~
"Aahhh ...."
Seteguk air yang sudah gue bawa mampu melepaskan dahaga dalam tenggorokan gue. Imel pun melakukan hal yang sama, kemudian tabung bambu itu balik ke gue lagi.
"Setan apaan ya itu tadi, Mel?" Ucap gue sambil melirik ke arah sekitar, memastikan perempuan bergaun merah tadi tidak mengikuti kami.
"Aku nggak tau, Lang. Aku baru sadar kalo dia dihadapanku waktu aku mengenakan celana," balas Imel sembari juga melakukan hal yang sama, melihat keadaan sekitar.
"Ayo, Mel. Kita harus mencari tempat yang aman, jangan buang-buang waktu disini."
Imel mengangguk dan menggenggam tangan gue lagi. Baru berapa langkah kami berlari..
"Mattii ... maaTTIII ... MATI!"
Suara perempuan tadi semula terdengar lirih semakin terdengar disekitar kami bedua. Gue semakin mempercepat langkah, tangan kanan Imel gue genggam erat-erat.
~ Wuuussshhh ~
Sekelebat bayangan hitam, yang gue
yakini pasti itu adalah perempuan tadi. Melayang dari atas kami berdua.
Melayang terbang dari arah kanan gue, memutar dan....
~ Tep! ~
Perempuan bergaun hitam itu sudah berdiri didepan kami. Hanya berjarak kurang lebih satu setengah meter di hadapan gue dan Imel. Keadaan ini memaksa kami untuk berhenti mendadak.
Imel sudah memeluk lengan kanan gue, rasa takut gue juga sudah sampe ubun-ubun, kaki juga udah gemetaran nggak karuan. Kami mematung melihat ke arah perempuan tersebut.
"Kami salah apa? Tolong, jangan ganggu kami," Gue udah memelas ketakutan dengan tatapan perempuan itu, yang wajah nya semakin deras dialiri darah yang menetes dari kedua matanya.
Dia kembali mengacungkan belatinya ke arah gue. Makin lemas gue sama ancamannya. Yakin gue, kali ini nyali gue lenyap entah kemana.
"Mati!" dari tadi ucapan perempuan itu sama, hanya satu kata itu doank yang keluar dari mulutnya.
"Mattii ... mati ... maa ... tii ..," perempuan ini berkali-kali mengucapkan kata itu.
Nggak, gue nggak mau mati ditangan setan ini. Gue mencoba untuk mengumpulkan nyali gue lagi.
"Hidup!" Ucap gue lantang.
"Kami masih ingin hidup! Lo nggak ada hak mencabut nyawa kami!" Gue lama-lama bosan juga sama ancaman perempuan ini.
"MATI!" Perempuan ini kembali melotot ke arah gue.
"Nggak! Kami masih mau hidup!" Kali ini, Imel juga udah ikut-ikutan membentak perempuan bergaun merah itu.
"Tolong ... biarkan kami lewat," gue udah memelas lagi biar setan ini pergi dari hadapan kami.
"Matt ... tii ...," perempuan ini masih bersuara lirih dan tetap mengacungkan belati nya.
Imel semakin merapatkan badannya, nggak sengaja gue menyenggol lidi yang ada di saku tas punggungnya Imel. Gue reflek mengambil lidi yang di ikat dengan daun kelapa tersebut, gue acungkan balik ke arah perempuan tersebut.
Perempuan bergaun merah tersebut langsung melotot, darah yang keluar dari kelopak matanya kian mengucur deras membasahi pipinya.
Gue memundurkan badan pelan-pelan, Imel juga menyadari gerakan gue. Dia juga mengikuti gerakan gue untuk mundur secara perlahan.
"MATI!" Suara perempuan itu kian lantang
memajukan langkahnya ke arah kami.
~ Wiuh wiuh wiuh! ~
"PERGI! Pergi nggak lo?!" Gue udah mengibas-ibaskan Tiga batang lidi tersebut.
Perempuan bergaun hitam tersebut berhenti melangkah. Gue pun menghentikan langkah mundur gue. Imel merampas lidi dari tangan gue, mengeluarkan sebatang dari ikatannya.
"Kami mohon, tolong jangan ganggu kami, biarkan kami lewat dari sini," Imel melunakkan suara nya, sembari mengibas-ibaskan sebatang lidi tersebut.
Perempuan itu hanya diam, kali ini tatapanya udah nggak melotot lagi. Hening tercipta sesaat diantara kami. Gue mengajak Imel untuk berjalan kesamping kiri, memutar ke arah samping kirinya. Imel masih memegang sebatang lidi di tangan kanannya. Gue masih merangkul tabung bambu agar jangan sampe terjatuh.
Perempuan tersebut kali ini menurunkan tangannya yang memegang belati, namun tatapannya masih belum terlepas ke arah kami.
"Ayo, Mel. Kita tinggalin aja," bisik gue ke Imel.
Semakin luang kami mengitari perempuan itu, semakin luang pula langkah kami untuk pergi dari situ. Imel masih mengacungkan lidi tersebut ke arah perempuan tersebut. Barulah dia menghentikan aksinya tersebut, setelah kami semakin menjauh dari perempuan bergaun merah yang diam mematung tersebut.
Kami tidak menghiraukannya lagi. Gue
semakin menyeret tangan kanan Imel untuk melangkah lebih cepat dari sebelumnya.
Gue nggak bisa menyimpulkan kalau sebatang lidi tersebut menjadi alat negosiasi
kami, tapi begitulah kenyataannya. Gue sama Imel berhasil melarikan diri dari
perempuan tersebut.
~ Hhheenngg ngiieekk hheenngg ngiieekk ~
Samar-samar di tengah pelarian, kami mendengar suara mesin pemotong kayu di sekitar kami. Suara itu tidaklah begitu keras terdengar namun cukup membuat pelarian kami terasa ada yang aneh. Soundtrack suara mesin chainsaw tersebut membuat gue menoleh ke arah Imel sembari terus berlari.
Kami berdua tidak berbicara sedikitpun, namun sepertinya Imel menangkap maksud gue. Imel sepertinya juga mendengar apa yang gue dengar. Gue sempat menoleh ke arah belakang, perempuan bergaun merah tadi sudah tidak ada dibelakang kami.
Tanpa mengindahkan suara tersebut yang masih saja menggema, kami berdua terus saja berlari. Suasana petang yang bernuansa sendu kelabu tersebut memaksa gue untuk segera mencari tempat untuk bermalam, sungguh tidak memungkinkan untuk terus melanjutkan perjalanan.
Kami terus berlari meskipun derap langkah kami berdua semakin lemah. Bebunyian suara mesin pemotong kayu tadi masih terdengar, namun kali ini terdengar semakin keras menggema. Hingga gue menghentikan langkah secara tiba-tiba.
"Kenapa ... hosh ... Lang?" Imel kaget dan langsung memegang kedua lututnya.
Gue diam mematung untuk sejenak, tidak menghiraukan pertanyaan Imel. Gue memastikan benar tidak nya penglihatan gue di depan sana.
"Apaan sih, Lang?" Imel juga udah mengalihkan pandangannya ke arah depan gue.
"Lo liat apa yang gue liat, Mel?"
Imel memicingkan matanya, dia juga terlihat memastikan apa yang dia lihat. Kemudian kami saling memandang lagi untuk sejenak. Tidak lama setelah itu gue langsung memberikan komando kepada Imel untuk menunduk. Kami kemudian mengendap-endap, lalu merangkak untuk mendekati apa yang kami lihat.
Apa yang kami dapati setelah merangkak pelan, bersembunyi di balik semak belukar?
"Bukankah itu-."
"Mobil T*tuuttt*ft" Imel melanjutkan kalimat gue dengan berbisik.
Seonggok besi beroda empat tersebut, membuat gue semakin bingung dengan semua ini. Apakah kami sudah keluar dari sini? Tapi gue bimbang kalo kami sudah keluar dari sini.
Kebimbangan gue tidak sampai disitu, yang
kami lihat kali ini adalah....

Komentar
Posting Komentar