10.
Sekilas Kronologis
"Sebenernya gue ada dimana sih?"
Itulah sebuah pertanyaan yang mengguncang pikiran gue kala itu. Gue semula berasumsi kalo gue sama Imel di jebak Nyi Carang, nyangkut di alam antah berantah ini, dengan ekspektasi kalo gue nyangkut di alam ghaib penuh pendekar. Tapi ini apa? Apaan coba? Gue beneran gagal mudeng di buatnya.
Apa kami kali ini sudah berhasil keluar dari apa yang diceritain Paklik? Masa' iya cepet banget? Harusnya gue seneng donk, tapi kok sama sekali gue nggak ada happy-happy nya, yang ada, malah gue ragu akan semua ini.
Kebimbangan gue tidak sampai disitu, yang kami lihat kali ini adalah seonggok mobil tua, berkarat, entah bisa di bilang layak jalan apa nggak, karena keempat roda nya sudah terlihat kempes. Mobil itu terparkir di pinggir sebuah jalan berdebu. Ya, bisa gue pastikan itu jalan, tapi sayangnya bukanlah jalan beraspal, melainkan jalan tanah coklat penuh dengan debu.
"Mel, lo bingung nggak?" Tanya gue sambil ngeliat ke arah Imel.
"Iya, sedikit sih ... tapi suara mesin pemotong kayu itu masih terdengar. Kayaknya itu mobil punya nya mereka deh."
"Lo yakin mobil itu kepunyaan yang lagi nebang pohon itu?"
Imel nggak menjawab, dia sepertinya ragu juga.
"Apa kita tunggu disana aja, Mel?"
Imel masih terdiam untuk sesaat.
"Aku setuju, kayaknya kita bisa menunggu penebang kayunya, Lang," ucapnya kemudian dengan nada mantap.
"Tapi ... aku masih sedikit nggak yakin sih, Mel. Liat tuh, rodanya kayaknya nggak layak jalan deh," gue udah ngeliat ke arah mobil itu lagi.
"Hari semakin gelap, Lang. Kita juga harus bermalam. Setidaknya jalan tersebut bisa digunakan buat bersuci," ucap Imel sambil ngeliat ke arah di sekitarnya.
"Kita bermalam disitu aja, kita positif thingking aja, apalagi di depan kita itu jalan. Siapa tau besok kita bisa menyusurinya," Imel memberikan argumen buat ngeyakinin gue.
Gue
masih bimbang, tapi tidak dengan Imel. Dia sudah beranjak dan menggeret tangan
gue setelah memasukkan lagi lidinya di dalam saku tas punggungnya. Gue akhirnya
setuju dengan terpaksa atas apa yang dilakukannya sama gue
itus.
°
°°
°°°°
°°
°
~ Hhheenngg ngiieekk hheenngg ngiieekk ~
Deru suara mesin chaisaw masih saja terdengar, padahal ini sudah malam. Sungguh makin tidak logis buat gue, masa’ iya ada yang nebang kayu sampe malam kayak gini? Gue udah berkeyakinan, kalo semua ini adalah salah satu bagian keganjilan perjalan kami.
Sebelumnya ....
Disini, dipinggir jalan berdebu, jalan yang lurus disamping kanan kirinya adalah semak belukar, sudah terdapat mobil tua Empat kali Empat yang keempat rodannya gue pastikan kempes semua. Udah gitu, pintu mobil tersebut di kunci semua. Didalam mobil tersebut ada banyak peralatan pertukangan, tapi semua nya terlihat berserakan. Semula kacanya mau gue pecahin, tapi dilarang sama Imel, katanya biarin aja, kita nggak berhak ngerusak barang orang lain. Okelah kalo beggituh!
Gue udah membuat lingkaran pake lidi sedikit lebih lebar mobil tersebut, tidak lupa gue taburin garam sesuai dengan arahan Paklik waktu itu. Pekerjaan gue belum selesai, gue mencari kayu sebesar lengan buat dijadiin kayu bakar, untuk menjadi penerangan kami malam ini. Beruntungnya, gue tidak mengalami kesulitan untuk mengumpulkannya karena di semak belukar tepat disamping mobil tersebut banyak potongan-potongan kayu yang seperti habis ditebang, namun sebagian terlihat lapuk. Apakah ini sebuah kemudahan buat kami berdua? Gue nggak tau. Gue nggak mau ambil pusing, yang jelas gue udah bikin api ditengah jalan abis itu.
Selesai gue bikin tempat bermalam, Imel menuntun gue buat tayamum. Gue sejujurnya baru kali ini bersuci menggunakan debu. Betapa udik nya gue yak? Kemudian kami berdua melakukan ritual mencari kiblat sekaligus mencari arah jalan keluar, yang ternyata membuat gue cukup terbelalak ....
Arah kiblat nya adalah berlawanan arah dengan moncong depan mobil tersebut terparkir. Lebih tepatnya, arah yang kami tunjuk adalah arah jalan yang berlawanan dengan arah mobil ini. Sekali lagi, gue nggak mau ambil pusing meskipun cukup terkejut.
Shalat Maghrib dan Shalat Isya' sudah kami tunaikan dan arah kiblatnya masih sama. Gue bertambah yakin, Paklik adalah perantara kami yang diberikan Allah SWT nan Maha Agung buat kami dalam melewati perjalanan ini.
Sekarang...
Kami
berdua ditemani api unggun seadanya, bersender pada mobil tersebut setelah
melakukan ritual makan malam sederhana yang udah diberikan oleh Paklik. Masih
ditemani juga oleh suara mesin pemotong kayu yang belum sama sekali berhenti.
~
Ceklek! Cesshh ... fussh... ~
Itu adalah rokok keempat yang gue hisab setelah melahap beberapa potong singkong rebus. Gue bersender pada roda belakang mobil ini. Disamping kanan gue, Imel sudah berkemas memasukkan hidangan makan malam kami ke dalam tas punggungnya.
"Untung gue bawa korek, ada gunanya juga buat malam ini," gue berucap sambil melihat semak belukar yang menjadi jalan keluar dari pelarian perempuan bergaun merah tadi.
Imel cuma tersenyum menanggapi ucapan gue.
"Kayaknya makanan kita cuma cukup sampe besok siang, Lang," Imel sudah merapatkan kancing jaketnya trus langsung memeluk tas punggungnya.
"Hhh..., semoga kita cepat keluar dari sini, Mel," Tanggapan gue buat menenangkan Imel.
"Gue nggak yakin kalo kita bisa dibantu sama yang punya mobil ini, Mel."
Imel cuma menanggapinya dengan diam. Hening tercipta untuk beberapa saat, hingga kemudian Imel berucap ....
"Motor kita gimana ya, Lang?" Tanya Imel sambil ngeliatin api unggun.
"Maaf ya, Mel. Semua salah gue," jelas gue jadi ngerasa nggak enak sama Imel.
"Kredit motor ku, tinggal Tiga bulan lagi selesai," ucap Imel semakin termangu.
Duh makin ngenes gue dengernya, makin berkecamuk penyesalan gue.
"Mel, yang penting kita sekarang berjuang buat keluar dari sini. Gue janji bakal bantuin elo, bantuin ngebenerin semua kerusakan motornya elo. Atau kalo perlu, gue bantuin buat gantiin motor elo itu, Mel," ucap gue buat menenangkan risau nya Imel.
Imel menjawabnya dengan menatap muka gue, menyelipkan senyum kecil untuk sejenak.
"Lo mau maafin gue kan?"
Imel mengangguk sebentar, kemudian menghela nafasnya. Gue nggak bisa berbuat apa-apa kecuali menjanjikan hal yang gue sendiri nggak tau apa bisa gue menepatinya.
Hadeh....
"Gue ngaku, Mel. Yang di omongin sama Paklik ada benernya ... gue waktu itu terburu-buru buat ngelabrak cewek gue. Iya, gue marah, dada gue rasanya sesek, gue percaya sama omongan temen gue soal kelakuan cewek gue," ucap gue memecahkan diamnya kami beberapa saat tersebut.
"Gue terlalu bernafsu untuk marah, harusnya gue lebih berhati-hati. Coba waktu itu gue lebih tenang bawa motor, mungkin kita nggak bakal kayak gini."
"Nggak usah disesalin, Lang. Ambil positif nya aja. Setidaknya, kita berdua masih bisa bernafas kan?" Imel menanggapi cerita gue sambil senyum.
Duh, Mel. Kok gue bisa melting yak?
"Ya iya sih, tapi tetep aja, Mel. Gue ngerasa bersalah sama elo," gue ngomong gitu setelah menghisap rokok gue.
"Udahlah, seperti yang kamu bilang tadi ... kita harus berjuang buat keluar dari sini."
"Kalo emang kita bisa keluar dari sini, gue nggak bakal berhubungan sama dia lagi. Gue anggap kejadian ini sebagai teguran Allah buat gue."
"Emang kamu nggak sayang sama cewek mu?"
"Nggak, Mel. Udah habis! Lagian, gue udah bertekad untuk menyudahi hubungan kami. Gue udah capek sama kelakuan dia," tuh kan, gue malah curhat.
Imel menanggapi omongan gue cuma termangu, kayaknya dia tipe pendengar yang baik deh.
"Sorry, malah curhat hehe ...."
"Nggak apa-apa, aku dengerin kok," Imel ngeliatin gue kayak gimana gitu, ge'er gue jadinya dah. Pffttt!
"Lo sendiri, gimana ceritanya bisa kelayapan dini hari gitu?" Gue udah kepo.
Ya iyalah, gue pengen tau alasan yang gue harap klop sama yang disampein sama Paklik. Imel nggak langsung menjawab pertanyaan gue, dia cuma tersenyum kecil kemudian menundukkan kepalanya.
"Lo kenapa, Mel? Gue salah ngomong yak?"
Imel masih diam, tapi kali ini sudah melihat ke arah api unggun yang gue buat asal-asalan, asal bisa nyala aja dah.
"Sorry, Mel. Kalo gue salah ngomong," gue masih menunggu sekaligus kepo.
"Ada miripnya, Lang. Hhhh...," Imel sepertinya mau menjelaskan meskipun helaan nafasnya mengisyaratkan kalo dia berat mau bercerita.
"Kalo emang berat ... nggak perlu cerita, Mel. "
"Jam Sepuluh kurang aku selesai dari kerjaanku. Jam setengah Sebelas aku sudah sampai di kos-an. Baru aja sampai di kos, aku dapat kabar dari Ibuk kalo Mbak ku gagal dari percobaan bunuh diri. Aku panik, aku kalut, mandi sebentar seadanya, terus langsung berkemas," Imel memulai ceritanya dengan runutan kronologis.
Imel terdiam sejenak, gue masih menunggu untuk menyimak cerita Imel tersebut.
"Jam Satu kurang, aku keluar dari Kos, aku udah nekat buat pulang ke K*tiitttt* malam itu juga."
"Hah?! Lo beneran nekat pulang dini hari, Mel? Jaraknya kan jauh, Mel?" Gue menyela cerita Imel sejenak, karena cukup kaget dengan kronologis dari Imel barusan.
Imel nggak menanggapi pertanyaan gue, dia melanjutkan ceritanya dengan memejamkan matanya untuk sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya lagi ....
"Aku khawatir sama Mbakku, Lang. Tapi aku juga memendam perasaan marah besar sama Mbakku. Aku rasanya ingin marah habis-habisan sama dia, aku kecewa sama Mbakku. Kenapa Mbakku mempunyai pemikiran selemah itu? Aku tau perasaannya, aku ngerti apa yang Mbakku rasain, walaupun aku belum pernah tau gimana rasanya gagal menikah, tapi nggak begitu juga caranya menyelesaikan masalah!"
Wow!
Imel bener mengebu-gebu menceritakan tentang alasannya.
"Ehm ... gagal nikah ya?" Bego' nya gue nanggapin ceritanya Imel.
"Aku tetap nekat, malam itu aku harus pulang. Ibuk sempat telpon sambil nangis, Ibuk juga minta aku buat pulang. Ibuk minta aku buat minta ijin cuti dari kerjaanku. Aku nggak bisa berpikir jernih, Lang. Malam itu juga aku putuskan untuk pulang ke K*tiiittt*."
"Emang
lo kerja dimana sih, Mel?" Gue nyela lagi dengan harapan Imel bisa nurunin
tensi ngemengnya yang mendadak menggebu-gebu.
Imel diam aja, dia nggak menanggapi pertanyaan gue. Dia udah menyenderkan dagunya pada tas punggung yang di pegangnya, tatapannya kali ini hanya bertumpu pada api unggun yang mulai berkurang cahayanya.
"Lo kepikiran sama Mbak lo ya, Mel?"
"Hhh ...," Imel cuma menghela nafas doank.
"Duh,
salah ngomong lagi gue," ucap gue sambil buang rokok ke arah api unggun.
Imel udah melihat ke arah gue lagi. Ada semacam raut wajah cemas yang dia tampilkan.
"Mungkin ... mungkin lho ini, mungkin ini cara Tuhan buat elo bisa kuat menghadapi cobaan lho, Mel. Anggap aja kita lagi latihan menghadapi keras nya hidup kita, Mel," dih sok bijak ya gue hehe....
Imel cuma menanggapi nya dengan diam dan kembali terpaku lagi pada api unggun.
"Lo hebat ya, Mel. Gue nggak nyangka loh, kalo lo udah kerja," gue mencoba mengalihkan perhatian Imel.
"Kenapa bilang gitu, Lang?" Tanya Imel tanpa melihat wajah gue.
"Yaa ... gue yakin aja sih, kalo kita bedua seumuran. Gue masih berkutat sama kuliah, nggak tau selesainya kapan. Lo malah udah bisa menafkahi hidup lo sendiri, gue iri sama lo, Mel."
"Oh, kamu masih kuliah ya? Emang kamu umurnya berapa, Lang?" Tanya Imel.
"Dua Satu, kalo lo?"
Imel menjawab nya cuma pake senyum tipis.
"Ah curang lo, gue jawab semua, tapi lo jawabnya setengah-setengah," gue pura-pura ngambek dah tuh.
"Dih pundung," Imel jawabnya pake senyum lebar, tatapannya beneran teduh buat gue. Kok lama-lama gue gemez juga sama tingkahnya yak?
"Yee ... nggak aci nih, umur brapa donk?"
"Hehe ... ada deh, mau tau ajah."
"Sama,
yekan?" Sekarang, gue udah
berani godain Imel.
"Nggak baik tauk, nanyain umur cewek tuh," ucapnya pake senyum.
Ah sudahlah, beneran gemezin nih cewek.
"Iya gitu?"
"Ya iyalah ...."
"Duh, cewek mah emang gitu."
"Aku kerja di Bank *Tuuttt*, Lang," ucap Imel sambil menatap gue lagi.
"Wah ... keren tuh, ngitungin duit mulu donk."
"Hehehe ... ya gitu deh," ucapnya dengan manis, tapi kek mengejek ke arah gue.
"Iya deh, yang wanita karir."
"Makanya, kamu juga cepetan selesaiin kuliahnya donk. Siapa tau kita bisa satu kantor," Imel udah pasang senyum lebar.
"Gitu ya?"
"He'emh, ntar aku bantuin deh."
"Bantuin apa?"
"Bantuin ngitung duit hehe ...," leh uga becandanya.
Gue juga reflek nyengir juga, ketularan senyum manisnya sih.
"Bagian apa, Mel?"
"Ya bagian ngitungin duit donk, hehehe .... "
"Teller?"
Imel cuma senyum sambil ngangguk doank. Tapi senyum diwajahnya langsung lenyap seketika. Imel langsung memeluk tas punggungnya dan merapatkan badannya ke arah lengan gue, kemudian langsung menutup matanya.
"Lang
... Lang ... aku ... takut," Imel berbisik lirih dan begitu pelan nya.
Gue langsung menangkap raut ketakutan di wajah Imel. Gue juga langsung ngeh kalo suara deru chainsaw sudah berhenti. Entah mengapa jantung gue mendadak berdebar-debar.
Bukan, bukan karena Imel yang semakin merapatkan tubuhnya pada lengan gue. Akhirnya, gue pun memberanikan diri untuk menoleh ke arah kiri, arah yang menjadi jalan keluar kami nantinya….
"ASTAGHFIRULLAH
HALADZIM!!"
Gue langsung nyebut. Mata gue nggak berkedip, tepat dua jengkal pada garis lingkaran yang gue buat tadi, berdiri sosok perempuan bergaun putih, nggak punya kaki atau kakinya disembunyiin kah?
Wajahnya samar-samar, hitam, mungkin gosong, atau kelamaan kena wajan panas? Rambut? Dih, macam Sepuluh tahun nggak kenal keramas dah.
Gue liatin matanya, sorotan matanya dominan putih, seputih gaun panjang yang dikenakannya ....
Dia menyeringai, sepertinya ....
"HIHIHIHI!"
Ekampret!
Gue memaksa mata gue terpejam.
"HIHIHIHI!"
Tawanya membuat bulu kuduk gue berdiri seketika itu juga.
Kukunya, itu kuku apaan sih? Gimana caranya lo ngupil kalo kuku sepanjang itu coba?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~
Zezzt! ~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~
Bugh! ~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kena
deh! Tapi Nanggung! Mwehehehehe....

Komentar
Posting Komentar