11. Malam Pertama ... Mencekam.

Mengerikan. Ya, kata tersebut cukup mewakilkan tentang sosok perempuan bergaun terusan berwarna putih, dengan tampang hitam sehitam pantat kuali. Rambut panjang lurus tapi kusam, udah gitu nggak punya kaki, kayaknya sih ketutup sama gaunnya. Kuku tangan nya panjang dah, ada kali Sepuluh centi.

Gue udah ketakutan parah waktu ngeliat sosok tersebut, Imel apalagi dah. Dia mah udah ngedusel mendekap lengan gue erat-erat. Gue beberapa kali memejamkan mata nggak mau ngelihat sosok tersebut. Nyali yang gue punya, masih gue kumpulin dulu buat ngeliatin nih makhluk. 

Dia berjalan pelan, tangan kanannya sudah terangkat, menunjuk ke arah kami. Makhluk ini sempat menggoyang-goyangkan kepala nya secara perlahan, nggak tau juga maksudnya apaan, mungkin dia pegel-pegel apa gimana? Gue nggak paham. 

Gue bisa melihat makhluk ini dengan seksama dan sedetil-detilnya, bibirnya ternyata sedikit dower. Dalam ketakutan, gue ngucap apa yang gue ingat, gue berharap kami nggak diapa-apain dah sama makhluk ini. Sungguh makhluk yang sangat merosahkan!

"Hihihi .... hihihi ...," sempet-sempetnya buat cekikikan nih makhluk.

Gue yakin kalian juga tau nama makhluk ini. Seumur-umur, baru kali ini gue ngeliat langsung pake mata gue sendiri. Serem Coi! Gue nggak tau harus gimana, gue pengen lari dari situ, tapi nggak mungkin gue tinggalin Imel sendirian disini. Lagian, gue udah capek seharian lari mulu. Udah gitu, kayaknya kaki gue nggak kuat buat beranjak dari situ. Kaki gue rasanya lemes plus gemetaran level kritis.

"Mbbaak ... ttoo ... loong, jangan gang ... guin kami," gue tetap memaksa melihat makhluk ini sambil berucap kayak gitu.

Mbak Tikun ini nggak bergeming, dia masih aja pelan-pelan mendekati kami. Imel udah menutup wajahnya pake tas punggung, getaran di badannya sudah menjadi sinyal atas rasa takutnya tersebut 

"Mbak, ... please ... jangan ... ganggu, ya ... please," gue udah memelas lemah sama makhluk ini yang terasa makin berani mendekati kami. Gue harap dia ngerti bahasa bule.

Masih aja nggak bergeming, Dia makin melangkah perlahan ke arah kami. Tangannya juga masih menunjuk ke arah kami. Gue juga menyadari kalo suara chainsaw sudah tidak lagi terdengar saat ini.

 

~ Zezzt! ~

 

~ Bugh! ~


Gue tercengang untuk beberapa saat. Mbak Tikun terpental cukup jauh, mungkin sekitar Tiga meteran dah. Dia tadi masih menunjuk ke arah gue, tapi seperti ada sengatan listrik di tangannya ketika dia semakin merangsek masuk ke dalam lingkaran yang gue buat.

"Apa mungkin? Garam?" Gue reflek bergumam ketika Mbak Tikun sudah tersungkur.

Tapi dia bangkit lagi, bangkitnya pun nggak begitu lama, dia sudah berdiri lagi. Mata gue masih sanggup menyaksikan makhluk ini berdiri, dia masih nekat. 

 

~ Zeeppp! ~

 

Cuma butuh waktu Dua detik doank untuk dia berada di tempat semula, namun kali ini tangannya tidak lagi terangkat. Gue nggak bisa berucap apa-apa, gue udah kehabisan akal, tapi masih terselip keyakinan kalo....

Garam yang di kasih sama Paklik....

Ampuh!

"Lang, liat lang," Imel berbisik lagi sambil menarik-narik lengan gue. 

Ternyata Imel mengintip di balik tas punggungnya, meminta gue buat ngeliat apa yang ada dari sisi samping Imel.


~ Glek! ~


"Aaapp ... aan nih?" Gue makin terbelalak sodara-sodara...

Mereka keluar dari segala penjuru, ada yang keluar dari balik pohon, ada pula yang terbang melayang dari atas pohon dan ada pula yang merangkak keluar dari balik semak-semak.

Satu, Tiga, Lima, Delapan, Sebelas, Lima belas, Arghh!

Mereka bermunculan beraneka ragam!

Mbak Tikun bawa temen-temen satu genk nya pulak!

Ada pula Genk Congpo, melumpat kesana-kesini macam takut kena ranjau paku!

Ada yang merangkak kayak kadal, udah gitu matanya gede bener dah. Badannya kurus kering, tulang dibalut kulit, tapi perutnya buncit sudah menyentuh tanah. Kepalanya hancur ndak berbentuk, hancur sehancur-hancurnya, gumpalan otak dikepalanya menyembul, salah Satu matanya keluar lengkap dengan uratnya, lidah menjulur dengan liur yang menetes dan sebagian wajahnya terbelah-belah. Sosok ini merangkak sendirian dari balik semak-semak.

Ada lagi sesosok seperti laki-laki berpakaian compang-camping dengan kedua lengan terputus. Kepalanya utuh dengan wajah pucat, berambut lebat tapi kepala nya pitak sebelah. Nih setan aki-aki berjalan tertatih-tatih, sama kayak yang lain tatapannya menuju ke arah gue sama Imel.

"Mel, ggiii ... mmana nih?" Dalam takut, gue sempet nanyain pendapat Imel.

"Akku ... juga, nggak ... ttt ... aau ...," Dengan suara gemeteran Imel berbisik ke gue.

Gue masih nekat buat melihat semua makhluk ini mendekati kami. Sisa nyali yang gue punya masih coba gue pertahankan. Padahal, gue sendiri nggak yakin bertahan dengan keadaan ini. 

Mereka semua sudah merangsek secara perlahan-lahan mendekati lingkaran yang gue buat. Semua anggota genk Mbak Tikun sudah mendekat, sekitar Lima sosok Tikun itu semakin mendekati kami. Apalagi genk Congpo, mereka ada sekitar Delapan kuncung, jingkrak-jingkrak maju-mundur-maju, mendekati kami. Bau bangkai dan bau amis menyeruak disekitar kami, menusuk lubang idung gue. Rasanya gue udah mulai mual, tapi gue coba untuk tetap bertahan. 

Ternyata masih ada Satu sosok lagi yang muncul dari arah ujung jalan dan sosok ini membuat gue makin tercengang...

"Mel, dugaan gue ... bener," ucap gue sambil tetap menyaksikan para makhluk ini mulai berkumpul dengan sorot mata yang sama, mengarah ke arah gue sama Imel.

"Apa?" Tanya Imel masih mendekap tas punggung dan lengan gue.

 

~ Dreengg dreng dreng! ~


Suara mesin chainsaw dihidupkan oleh seorang sosok bertubuh laki-laki, berbadan cukup tegap, mengenakan seragam gelap lengan panjang dan postur tubuhnya tegap. Dia berjalan pelan sambil kedua tangannya memegang mesin tersebut. Sekarang semakin jelas tentang sosok tersebut yang menyusul para makhluk tersebut.... 

Dia datang tanpa....

Kepala.

Rasanya cukup sudah gue melihat semua ini ....

Gue udah nggak kuat, mereka semua berdiri di depan lingkaran yang gue buat. Gue udah mengikuti apa yang dilakuin sama Imel, muka gue udah gue benamkan disamping kepala Imel. Kami berdua meringkuk ketakutan. Rasanya seluruh badan gue menggigil nggak karu-karuan.

"Hihihii ...."

"Ghheeee!"

"Affhhuafh fhuafh." ... Yang ini gue nggak tau suaranya siapa?

Pokoknya semua macam tawa dan racauan berkumpul semua di hadapan gue, plus suara mesin chainsaw pulak. Mereka semua masih berdiri ditempat yang sama.

Ada yang suaranya ngebas, ada pula yang suara nya rada cempreng. Sesekali juga terdengar semacam suara perdebatan di antara mereka, mungkin mereka berebut tempat di tempat paling depan. Padahal...


~ Zezzt! ~

 

~ Bugh! ~

 

~ Gedebugh! ~


Sepertinya beberapa dari mereka ada yang terjungkal ke belakang. Gue nggak akan menyanggahnya bahwa malam ini, malam pertama gue berkemah di alam entah apa pulak namanya ini, begitu....

Mencekam!

"Huu ... uuu ... uuu." Bukanlah suara nyanyian.

Suara itu sangat dekat di telinga gue, ya itu suara tangis ketakutan dari Imel.

"Mel."

"Huuu ... uuu ... uu, aku ... takut, Lang, huu ...," Imel beneran nangis. Gue semakin mendekap badannya, kami semakin meringkuk.

"Sama, Mel. Gue juga takut, lo tenangin diri, Mel. Semoga aja benteng pertahanan kita kokoh," gue kembali mengumpulkan keberanian, biar gimanapun juga gue cowok, gue harus ngelindungin orang di sekitar gue. Ya walaupun, gue keder juga sih.

Semakin kesini, suara mereka semakin gaduh. Gue udah bener-bener nggak berani melihat ke arah mereka semua, yang sepertinya ada keributan kecil diantara kerumunan itu. Entah nggak tau apa yang mereka ributkan, masa' iya rebutan koin, yekan?

Yang gue lakukan sama Imel, hanya meringkuk di tengah keadaan yang sudah mendekati gelap, api unggun gue hanya menyisakan bara api. Gue berharap mereka putus asa buat mendekati dan mengganggu kami. Gue juga nyempetin buat menyeka air mata Imel. Mata gue terpejam dan tetap merangkul erat tubuh Imel. Yang bisa kami lakukan hanya meringkuk ketakutan. Mencekamnya... 

Ampun dah!

 

°

°°

°°°

°°

°

 

~ Cicit cuit cicit cuitt cuiit so sweet. ~

Leh uga! Mwehehehe....

Hal pertama yang gue lakukan adalah membuka mata. Suara decit burung di pohon, entah pohon yang mana. Sudah sukses membuat mata gue terbuka pelan-pelan.

Ya, dalam kalut ketakutan kami semalam membuat gue sama Imel terlelap. Mungkin saking takutnya membuat gue pasrah, yang ujung-ujungnya terlelap. Dan kami berdua masih dalam posisi yang sama, meringkuk berangkulan.

Disini, gue dapati wajah Imel terlelap begitu amburadulnya, wajah yang alami berantakannya. Tapi anehnya, gue malah suka sama wajah ini.

Imel begitu nyenyak menikmati tidurnya. Gue sempet benerin bagian depan jilbabnya yang udah melorot kesana-sini. Gue jadi nyengir ngeliatnya....

Apa iya gue mulai suka sama nih anak yak? 

Gue lepaskan rangkulan gue di pundaknya dan menyandarkan tubuh Imel pada dinding mobil ini agar dia semakin lelap dalam tidurnya. Gue udah melihat keadaan sekitar, terang perlahan muncul dari arah bagian ujung jalan. Gue semakin yakin bukan arah itu yang bakal kami tempuh nantinya.

Gue berdiri, dalam hati gue mengucapkan banyak rasa syukur. Malam mencekam sudah berhasil kami lewati. Entah apa jadinya kalo nggak ada garam yang diberikan Paklik? Gue percaya kalo garam itu hanya sebagai  perantara dari Sang Maha Kuasa untuk melindungi kami dari keadaan ini. Itu sudah!

Entah bagaimana ceritanya? Para demit yang mau mengeroyok kami semalam bisa bablas nggak berbekas. Saat ini, gue bisa menghela nafas lega, gue sungguh lega bisa melewati malam mencekam itu. Gue lihat keadaan sekitar, sekarang tidak terlalu begtu kelam. Baguslah, sebuah awal yang baik untuk kami melanjutkan perjalanan kami keluar dari sini.

"Mel. Bangun, Mel," gue mengurungkan niat buat membiarkan Imel terlelap.

"Mel ... bangun, udah pagi," gue mengguncang pelan tubuhnya, nafas teratur nan tenang dari Imel menandakan dia menikmati tidurnya.

Sebenernya antara tega nggak tega buat ngebangunin Imel. Tapi kali ini harus gue paksain buat dia bangun.

"Mel, bangun ... mereka udah pergi, Mel," gue mengulangi tindakan gue buat ngebangunin Imel.

"Mmmhh ...," Imel bergumam menanggapi tindakan gue.

"Bangun, ayok kita sholat dulu, ntar keburu tambah terang."

Imel udah membuka mata nya pelan. Dia tersentak untuk sejenak ....

"Lang?" 

"Hmm?"

"Mereka?" Imel reflek celingak-celinguk ngeliatin keadaan sekitar. 

"Mereka udah nggak ada," ucap gue sambil mengulurkan tangan buat mengajak Imel berdiri.

"Mereka kemana, Lang?" Suara Imel serak-serak basah gimana gitu ....

Demen gue dengernya.

"Nggak tau juga, yang penting sekarang ayo kita sholat, trus berkemas pergi dari sini," ucap gue sambil memegang tangan Imel dan membuatnya berdiri.

"Yuk, kita tayamum dulu."

Imel manggut-manggut lincah pake senyum tipis. Gemes juga gue lama-lama sama nih anak.

"Mel."

"Hmm?"

"Bekas ilernya di lap dulu atuh hehe ...."

Dia langsung tersipu, menunduk dan menyeka ujung bibirnya. Wajahnya kok jadi imut gitu yak? Dalam tunduk malu nya itu, ada senyum tipis nan manis buat gue. Matanya juga melihat ke gue sebentar trus ngarah ke bawah lagi.

"Becanda doank Mel hehe ...."

"Ih, kamu tuh ...."

Melani beneran tersipu tapi malu ngeliatin gue nyengir buat dia.

"Apaan sih?" Suara seraknya itu lho. Ya Allah, mau gue kalo dia jadi bini gue.

"Nggak apapa sih."

Duh, senyum pertamanya pagi ini, membuat gue kian bersemangat nan bersambung.




Komentar