12. Jiwa Murni

12. Jiwa Murni.

Sengatan terik matahari kian mencuat diatas permukaan kami. Dimana sinarnya sudah menemani perjalanan kami untuk menyusuri jalan berdebu ini. Sebuah jalan yang lebarnya hanya kurang lebih bisa dilewati Satu mobil dan Satu motor kalo berpapasan.

Ya, kami berdua telah sepakat untuk meninggalkan seonggok mobil tua yang sudah menjadi tempat rehat kami sejenak tadi malam. Terima kasih seonggok mobil kampret.

Misteri tentang bagaimana para demit itu lenyap, biarlah menjadi misteri. Toh, yang penting mereka nggak sempat buat mencelakai kami berdua. Walaupun, jujur dalam hati gue masih bertanya-tanya, mengapa bisa demikian? Tapi ya itu tadi, buat apa dipikirin. Perjalanan ini terasa amat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan, banyak cerita yang mestinya kau saksikan. Baru nyadar? Pffttt!

Iye, penggalan lagu Om Ebiet itu emang ada benernya sih. Untuk saat ini, perjalanan ini sangat menyedihkan buat gue. Menyedihkan, seorang pemuda tampan (iyain aja udah) memanggul tabung minum dari bambu berjalan gontai bersama seorang gadis (yang ini udah absolut) tak tahu tujuan mau kemana. Satu-satunya pemicu semangat gue menyusuri jalan ini adalah ya dia ini, perempuan yang baru aja gue kenal ini. Padahal, gue udah nggak pede sama bau badan gue, yang terasa gerah nan acem. 

Imel berada disamping kiri gue, kami berjalan beriringan. Sesekali melihat keadaan sekitar kami, tak jauh berbeda dengan sebelumnya, hanya belukar dan pohon-pohon yang menjulang liar. 

Sekarang, gue taksir keadaan seperti jam sebelas kurang. Ya, kurang lebih sudah lebih Lima jam perjalanan dengan jalan kaki ini dan sudah Lima kali lebih kami berdua berhenti untuk beristirahat sejenak. Pokoknya kami telusuri terus jalan ini, berapa kelokan dan tanjakan kami lewati, tapi di kiri-kanan jalan ini masih sama.

Sisi positif dari perjalanan ini adalah, gue semakin mengenal Imel lebih dekat dari yang sebelumnya. Sepanjang jalan nggak pake kenangan ini, gue sama Imel terkadang tertawa cekikikan. Banyak sih yang kami obrolin, dari sini gue bercerita tentang kehidupan gue, misalnya  gue anak Pertama dari Dua bersaudara, punya adek cowok yang umurnya nggak jauh berbeda dari gue. Gue yang melihara kucing putih di kos-an gue. Itu juga yang membuat gue nyambung sama Imel, dia juga penyayang kucing. Beda nya, gue nemu anak kucing trus gue rawat, sedangkan Imel dapat anakan kucing Anggora dari temennya.

Gue juga sedikit banyak tau tentang Imel. Ternyata dia anak ketiga dari Empat bersaudara, punya kakak Pertama seorang cowok, Mbak nya yang gagal nikah di nomor Dua, sedangkan adik bungsunya cowok lagi tapi masih SMP. Salah satu pembedanya lagi ialah, ternyata Imel memang sudah menjadi seorang sarjana dari jurusan Ilmu Komunikasi dengan menempuh waktu kuliah hanya Tiga tahun setengah. Kalo gue? Udah hampir Lima tahun kuliah di jurusan Ilmu Politik, masih mandeg di skripsi. Wuasudahlah!

Ya, kurang lebih gitu lah ya. Akhirnya kami beristirahat lagi untuk yang kesekian kalinya. Kami sudah beristrahat di sebuah pangkal pohon yang cukup besar, terletak di pinggir jalan ini.

 

 

~ Gluguk gluguk .... ~

 

"Cp aahhh ...."

Gue udah nyender di pangkal pohon dan membuka jaket gue. Gerah rasanya pengen mandi, nyesel gue nggak mandi waktu habis ketemu sama Paklik. Imel juga kali ini sudah mengikuti tindakan gue. Dia juga sudah melepaskan tas punggungnya setelah dia meneguk air dari tabung bambu yang gue bawa.

 

~ Ceklek cesshh .... ~

 

~ Fuushh .... ~


Gue nyalain rokok ke Tujuh yang menjadi penghangat kerongkongan gue untuk beristirahat kali ini. Gue lihat Imel juga udah terlihat lelah, dia juga sudah duduk disebelah kiri gue sembari melihat ke segala penjuru di sekitar kami.

"Mel, lo sadar nggak sih?"

"Apa, Lang?"  Imel  masih celingak-celinguk mengamati keadaan sekitar.

"Sejauh ini kita jalan, nggak ada satupun manusia yang melintasi jalan ini, Mel," ucap gue yang juga ketularan celingak-celinguk.

"Yang aku harapin dari tadi juga itu, Lang. Kalau melihat dari segi kontur tanah sama jejak di tanah sih, harusnya ada yang melintas di jalan ini."

Set dah! Pake bawa-bawa kontur tanah pulak!

Eh tapi bener juga sih, gue juga tadi sempat melihat ada jejak kaki. Sempat pula gue ngeliat bekas ban motor di tanah ini, tapi jejak nya nggak panjang, mungkin tersapu debu dan angin. 

"Sedangkan stok logistik kita makin tipis nih, Lang." Imel ngomong kali ini sambil ngeliatin tas punggungnya.

"Iya ya, Mel. Kayaknya kita harus menghemat tanaga kita."

"Nah itu dia, kita juga nggak tau kapan Paklik bisa datang lagi buat ngebantu kebutuhan kita ini," sekilas ada raut getir yang ditampilkan Imel.

Gue terdiam, pikiran gue kembali ke kejadian tadi malam. Sebenernya, dalam ketakutan gue, pingin rasanya minta tolong sama Paklik, tapi nggak gue lakuin ....

Karena saking takutnya, gue lupa. Pffttt!

"Sebaiknya kita jalannya nggak usah terlalu ngoyo, Mel," ucap gue.

"Iya." Imel nanggepin cuma singkat.

"Lo capek, Mel?" 

"Lumayan sih, kita istirahat nya agak lamaan dikit yah," Imel ngomong gitu sambil ngeliat ke arah gue.

"Oke, gue mah oke-oke ajah."

Imel udah menyandarkan kepala nya pada batang pohon, sepertinya dia memang cukup kelelahan. 

"Oiya, Mel. Lo belum sempet ngejelasin ke gue tentang sesuatu."

Dalam santai nya Imel ngelirik ke arah gue, ngeliatin gue pake roman penasaran.

"Tentang apa?" Ucapnya kemudian.

"Tentang Tiga batang lidi yang kita bawa."

"Owh itu," balasnya singkat doank sambil memalingkan lagi wajahnya kedepan, melihat ke arah jalan dan semak belukar.

Suasana hening untuk beberapa saat. Gue semakin penasaran kenapa Imel nggak langsung aja menjelaskan tentang lidi tersebut.

"Lidinya buat apa sih, Mel? Masa kegunaanya cuma buat bikin lingkaran doank?" Tanya gue lagi yang udah kepo, pake banget.

Imel tersenyum menanggapi pertanyaan gue.

"Kalo aku jelasin, kamu jangan tersinggung ya, Lang," ucap Imel tanpa menoleh ke gue.

"Kok gitu? Kenapa gue harus tersinggung?" Ya, gue tambah penasaran donk.

"Kata Paklik, lidi tersebut harus digunakan kalau kita benar-benar terdesak ... dan yang harus gunain cuma aku," ucapnya masih dengan pose yang sama.

"Terdesak? Seperti waktu kita ketemu cewek berbaju hitam itu? Kenapa tadi malam nggak lo gunain? Terus kenapa cuma elo yang harus gunain?" Nah kan, gue jadi tambah kepo.         

Imel pasang aksi senyum tipis ke arah gue. Asli, kali ini kagak mempan, gue udah gregetan sama dia.

"Aku jawab ... satu-satu ya," ucapnya lagi tapi kali ini sengaja menjeda biar gue tambah kepo, kayaknya sih gitu.

"Paklik cuma berpesan buat gunain lidi itu kalau nyawa kita benar-benar terancam. Waktu ketemu cewek berbaju hitam kemarin, aku ingatnya malah pas kamu ngacungin lidi nya. Alhamdulillah, kita bisa pergi dari dia kan?" ucap Imel membuat gue diam untuk sejenak.

"Kalo yang semalam, aku sadar keadaan nya memang mengancam nyawa kita. Tapi aku yakin seperti yang kamu bilang ... lingkaran yang kamu buat bisa menjadi benteng pertahanan kita. Aku yakin, kamu juga bakal jagain aku kan?"

Ah elah!

Sa'ae nih pentol cilok. Sukses bener bikin gue melting.

"Ya iyalah, Mel. Gue udah janji buat jagain lo disini. Lagian cuma elo doank yang gue punya saat ini."

Giliran Imel tuh yang mukanya mesam-mesem nahan senyum.

"Trus cara gunainnya disabet-sabet doank, gitu?" Tanya gue masih antusias.

"Mungkin, aku juga nggak tau," jawab Imel sambil gerakin bahunya.

"Lah? Emang pesan nya Paklik gimana?"

"Ya kata Paklik sih, 'simpan dan gunakan lidi ini dalam keadaan terdesak dan mengancam nyawa kalian. Ingat Nduk, yang berhak menggunakannya hanya kamu, orang yang punya jiwa murni' ... gitu kata Paklik," Imel berucap sambil menirukan suara Paklik.

"Jadi, gue nggak punya jiwa murni, gitu? Udah kayak susu aja dah." Ya gue ngerasa gimana gitu, agak tersinggung juga sih.

"Tuh kan, tadi janji lho ... nggak boleh tersinggung," ucap Imel seperti membujuk gue.

"Aug ah!" 

Gue nggak sadar mengeluarkan sisi kekanak-kanakan nya gue. Imel cuma tersenyum doank ngeliat tingkah gue yang bener sedikit ngambek. Heran gue, kenapa gue bisa bertingkah kayak gitu yak? Perasaan kalo sama Riska, nggak gini-gini amat.

"Udah ah, aku pipis dulu ya," ucap Imel kemudian.

"Jangan jauh-jauh, air nya masih ada kan?" Gue udah balik sok perhatian lagi.

"Masih, tapi tinggal dikit."

"Dihemat-hemat, Mel. Lo udah pipis Tiga kali lho ini. Kita belum nemu air lagi lho."

"Iya Gilang ... aku hemat-hemat kok. Emang kamu nggak kebelet? Dari kemarin kamu nggak pipis lho? Kalo keseringan nahan pipis, entar jadi penyakit tauk."

"Udah, gue mah gampang. Buru cari tempat sono gih."

"He'emh ... tungguin bentar ya."

"Jangan jauh-jauh."

"Iya, bawel ih," Imel udah beranjak ke arah sebrang jalan, mungkin dia udah dapat tempat sambil bisa ngeliatin gerak-gerik gue.

Iya sih, gue heran juga...kok bisa gue nahan pipis selama ini yak?

°

°°

°°°

°°

°

Gue dan Imel memutuskan untuk beristirahat di tempat itu sampai waktu dzuhur tiba. Sempat makan siang singkong rebus itu lagi, yang nyata nya masih enak untuk disantap. Gue heran juga, kok bisa singkong rebus nya bisa awet selama ini yak? Akan tetapi, bekal makan kami habis sesuai prediksi Imel.

Saat akan menunaikan shalat, arah kiblat dan arah perjalanan kami ternyata tidak berubah, arah jalan yang kami akan kami tempuh masih menunjukkan arah yang sama. Syukurlah.

Gue masih menaruh harapan jalan ini adalah jalan yang tepat agar bisa keluar dari sini.

"Ayo kita lanjut lagi, Mel." Gue ajak doi, sembari mengenakan jaket lagi setelah gue jadikan sajadah dadakan.

Imel mengangguk sembari merapikan semua perlengkapan yang akan dia bawa.

"Persediaan kita sekarang tinggal minum, jadi kita jalan nya pelan-pelan aja ya, Lang," ucap Imel sambil mengenakan tas punggungnya.

"Iya, Mel. Semoga kita bisa bertemu sama Paklik lagi," Gue juga udah memanggul tabung bambu yang terasa lebih enteng dari yang sebelumnya.

Here we go ....

Kami berjalan lagi menyusuri jalan yang terasa masih sama jalannya. Entah dimana ujungnya? Entah dimana kami akan berkemah malam nanti? Entah mau makan apa kami nanti? Entah ini masih Indonesia apa bukan? Entah kapan kami bisa segera mandi? Jangan ngeres yak, karena badan emang udah gerah nggak karu-karuan. Entahlah....

"Mel, maksudnya jiwa murni tadi apa ya?" Gue mulai menciptakan topik hidayat.

"Nggak tau juga aku, Lang." Jawab Imel dengan tetap melangkah disamping kiri gue.

"Kalo gue tebak sih, jiwa murni itu jiwa polos. Jiwa polos itu adalah jiwa yang belum terkontaminasi, jiwa yang masih lugu hehe...," gue asal bunyi aja.

"Hehehe ... ada-ada aja," Imel cuma menanggapinya santai.

"Iya donk. Jiwa yang belum terjamah peliknya urusan asmara, urusan reserse, urusan getirnya kehidupan ... ya urusan duniawi lah. Jadi kesimpulan gue, lo itu masih polos ... belum begitu paham kejamnya dunia."

"Huuu ... tambah ngawur hehe ...," Imel jadi ceria dengar penjelasan gue.

"Jangan-jangan, lo belum pernah pacaran?" tanya gue menyelidik, melirik ke arah Imel.

"Yee ... sok tau ah," Imel tersipu dengan tatapan masih kedepan.

"Bener kan tebakan gue? Hehehe ..."

"Nggak tuh. Rencana nya, kalo Mbakku udah nikah, aku juga mau nyusul dia juga."

Yahh....

Kok gue rada kecewa dengernya yak?

"Katanya tadi, selisih umurnya elo sama Mbak lo Dua taon ... kok lo udah keburu nikah aja, Mel?" Tanya gue sambil tetap ngelirik ke arah Imel.

"Nggak gitu juga, Lang. Yang penting kan, aku udah ngelurusin niat."

"Emm ... gitu ya." Gue udah ngangguk-ngangguk sambil ngeliatin arah depan lagi.

"Emang lo udah punya calon?" Tanya gue lagi.

"Insya Allah, kalo niat udah lurus, Allah pasti menyediakan kok," ucapnya masih dengan pandangan lurus ke depan.

Sungguh, jawaban diplomates. Lama-lama macam Paklik juga nih anak.

"Aku percaya kok Lang, jodoh memang di tangan Tuhan. Tapi pasti ada campur tangan-Nya juga untuk itu. Oang yang baik pasti disediakan orang yang baik juga,  sebaliknya ... pasti juga seperti itu."

Ah berat sih, tapi gue mencerna jawabannya dengan sedikit seksama sambil nunduk. Saking dalamnya gue mencerna omongannya, sesaat gue nggak sadar kalo Imel menghentikan langkahnya. Setelah sadar kalo Imel udah sedikit nggak sejajar sama gue....

"Lo kenapa, Mel? " 

Gue liat Imel udah bernafas nggak teratur, raut wajah takut sudah terpampang. Gue langsung mengalihkan pandangan ke depan lagi....

Ebujug!

Gue sama tercengang nya kayak Imel.

Seekor ular melintas di depan kami. Ular yang ukurannya guede daripada ular pada umumnya. Lidah gue tercekat ketika melihat ular tersebut melintas dari semak belukar sebelah kiri ke belukar sebelah kanan. Gue juga melihat ujung ekor ular tersebut menghilang.

"Lang, kita terus? Apa berhenti dulu?" Tanya Imel yang udah menggenggam lengan kiri gue erat.

Wajah takutnya kian memucat.

 

~ Degdegdeg! ~ 


Jantung gue berdebar kian tak menentu. Gue nggak bisa jawab pertanyaan Imel. Gue sama takutnya kayak dia, gue bingung mau ambil keputusan kayak apa. Baru kali ini gue nemu buntut ular gedenya kayak bantal guling.

"Kita tunggu bentar, Mel. Semoga ular tadi cuma melintas, pergi jauh dari kita," gue jawab setelah beberapa saat kami cuma mematung.

"Apa kita nggak lari aja, Lang?" Sepertinya Imel nggak tahan lama-lama disini.

 

~ Srek.... ~ 

 

 

~ Sreek.... ~

 

"Lang, apa tuh, Lang? Ayo kita lari aja, ayo!" Imel makin keliatan ketakutan 

Gue masih belum bertindak, padahal gue juga udah merasakan kecemasan yang sama kayak dia.

"Ayo, ayo, Lang!" Imel udah gregetan, udah menarik paksa tangan kiri gue buat lari.

Akhirnya gue diseret Imel buat lari....

 

~ Sreek.... ~ 

 

 

~ Sreeeek.... ~ 

 

 

~ Ssiiishh.... ~ 

 

"HUAAAAAA!!!"  Teriak kami berdua secara bersamaan.

Gue terperanjat, belum juga Sepuluh langkah kami lari. Kepala ular itu nongol dari semak-semak sebelah kanan gue. 

Gue terduduk, Imel juga demikian setelah berteriak tadi. 

Gue makin ketakutan....

Ini ular apaan sih?!

Masa' iya Ular Kobra kepalanya segede roda tronton?



Komentar