15. Si Mbak Hitam

Buset!

Tengil bener dah!

"Heh!" Cewek itu bertalak pinggang melotot ke arah gue.

Gue cukup geram juga sama tingkahnya sih. Geraham gue udah menggeratak ... ikutan ngeliatin balik ke arah muka nya.

"Jawab! Kalo orang nanya itu, dijawab!" Cewek itu menggertak sekaligus mendekat ke arah gue sama Imel.

"Maaf, terima kasih atas ... hoooeggh!"

Belum juga sempet mau balas gertakan cewek tersebut, Imel yang udah duluan menjawabnya. Tapi sekaligus juga, gue terperangah dengan jawaban Imel barusan ... dia udah muntah darah. 

"Mel, lo kenapa?" Gue panik karena ngeliat Imel yang semakin terlihat pucat, terlebih sudah merembes darah segar dari hidungnya.

"Lang ... cepet ... bilang ... terim ... hooegggh!"

Tubuh Imel langsung lemes lunglai, gue langsung menyambar tubuhnya agar nggak jatuh 

"Laa ... ng," Imel menatap gue dengan wajah yang kian memucat.

Darah dari lubang hidung sama mulutnya kian merembes. Jelas! Jelas gue tambah panik lah.

"Mel, lo knapa, Mel?!"

Imel cuma jawab pake senyum kecil.

.

.

~ Tep tep! ~

"Minggir!"

Cewek ini semakin sigap mendekat kearah kami berdua. Dia berteriak lantang di depan muka gue,  juga setelah dia dengan siap nan sigap menangkap tubuh Imel yang kian lunglai. Mata Imel juga mulai terlelap. 

Kemudian cewek tersebut melakukan gerakan semacam menotok pangkal lehernya Imel. Gue cukup terperangah dengan gerakannya tersebut.

"Gue yakin, kalian manusia," ucapnya kemudian sambil membopong tubuh Imel.

Gue nggak jawab sepatah kata pun.

"Lo tunggu disini sebentar. Cewek lo ini, udah kondisi kritis, gue tau tempat yang tepat buat nyelamatin cewek lo," Cewek ini bilang gitu dengan nada yang cukup ramah dari yang sebelumnya.

Tanpa membutuhkan persetujuan gue, dia udah menggendong tubuh Imel di belakang punggungnya, tidak ada sanggahan dari Imel. Karena Imel terlihat semakin layu lunglai.

~ Phuuuhh! ~ 

Cewek tersebut melemparkan tangkai permen yang di kunyahnya sambil menatap ke arah gue.

"Ingat! Lo jangan kemana-mana, tunggu gue disini! Ntar gue balik lagi kesini buat lo."

Lagi-lagi gue hanya terdiam, bingung harus menjawab apa. Lagian, gue sadar kalo Imel sepertinya memang lebih membutuhkan pertolongan.

Dia berbalik badan dan mengambil ancang-ancang untuk berlari, namun....

"Nawang!"

Dia terkejut dan memutar badannya lagi ke arah gue.

"Tolong, selamatin Imel. Gue tunggu disini," ucap gue dengan nada setengah memelas ke arahnya.

Kali ini, cewek tersebut memasang tampang sedikit terkejut dengan apa yang barusan gue omongin. Tapi kemudian dia hanya diam tanpa ekspresi lagi, trus langsung memutar badannya. Tidak perlu menunggu kalimat gue lagi...

.

.

.

.

~ Drap drap drap.... ~

Dia langsung berlari sambil menggendong tubuh Imel di balik punggungnya. 

Kemudian setelah beberapa langkah....

.

.

.

.

.

.

.

~ Wuuussshhhh! ~ 

Dia meloncat ke arah jalan yang seharusnya kami tuju sebelumnya ... kemudian dia semacam melompat-lompat dari dahan ke dahan. 

Entahlah.... 

Mungkin dia siluman Bajing luncat apa gimana? Gue juga kagak paham. Yang jelas dia meninggalkan gue sendirian disini, disamping ular jumbo yang kemungkinan sudah berstatus baru....

Bangkai.

 

°

°°

°°°

°°

°

Rasanya hampir Tiga puluh menit sudah gue disini. Menunggu sesosok gadis yang bernama Nawang tersebut. Yang gue bisa lakukan hanya gelisah. Buat menghilangkan perasaan tersebut, gue sudah menghabiskan Dua batang rokok.

Gue juga mengamati lagi bangkai ular jahanam ini. Badannya yang super nggak lazim, sudah sama sekali nggak bergerak. Gue juga nyempetin buat ngeliat kepala ular yang terbenam itu. Semerbak bau anyir kian menyengat dari kedalaman lubang sekitar Satu meteran tersebut.

Gue hanya termangu dan nggak habis pikir, kok bisa tuh cewek benemin kepala ular sampe sedalam itu? Dugaan gue, udah sangat jelas, itu cewek bukan cewek sembrono, eh sembarangan maksud gue.

.

.

.

.

.

~ Pluk ~

Sisa gabus rokok yang barusan gue hisab, gue lempar kedalam lubang tersebut.

"Rasain tuh!" Gue berdiri setelah duduk jongkok sambil mengamati kepala ular kampret itu.

"Haahh... moga aja Imel selamat," gumam gue lirih sambil melihat arah cewek tadi membawa Imel.

Disisi lain gue juga udah mulai ketar-ketir ditinggal disini. Soalnya, perlengkapan tempur berupa lidi dan garam serta makanan yang tersisa pun, semuanya dibawa sama Imel. Gue hanya bawa minum doank. Itupun sudah beberapa tegukan gue habiskan sembari menunggu cewek itu.

Resah, gelisah, harap-harap cemas plus sedikit rasa takut sudah menyelimuti perasaan gue. Yang bisa gue lakukan sekarang hanya berdiri disamping bangkai ular ini, tanpa beranjak sedikit pun.

Tiba-tiba gue teringat akan sosok....

"PAKLIK!! ... PAKLIK!!!"

Ya, gue teringat akan sosok pahlawan kebanggaan gue tersebut. Gue akhirnya bertubi-tubi memanggil Paklik. Harapan gue, Paklik bisa nongol dan memberikan pencerahan buat gue.

"PAKLIK!!! TOLONG PAKLIK!!!"

Cukup lama gue teriak memanggil-manggil Paklik. Tapi sepertinya yang di panggil lagi meeting, mungkin nggak bisa di ganggu gugat. Kagak sesuai dengan harapan gue, nihil.

Akhirnya gue tambah lelah plus resah gelisah. Apalagi hari semakin terlihat mendung, lengkap sudah. Gue terperangkap dalam perasaan gabut tak tentu arah.

Tiba-tiba....

.

.

~Sreek … sreeek ~

.

.

Sayup-sayup gue mendengar suara....

.

.

.

.

~Sreek … sreeek ~

.

.

.

Suara semak-semak yang bergerak....

Di balik punggung gue....

Gue memutar badan....

.

.

.

.

~ Glek. ~ 

Gue mundur perlahan dengan wajah yang mulai memucat.

Sosok perempuan bergaun hitap pekat sudah nongol dihadapan gue. Ekspresi wajahnya hamper sama kayak Nawang tadi, bedanya mata nya sudah nggak ada sama sekali hitamnya. 

"Ma ... ttii ...," ucapnya lirih sambil tetap mengacungkan belati ke arah gue.

Gue mundur perlahan ke arah kepala ular yang terbenam tadi.

"Tolong, Mbak. Jangan ganggu gue, please..," ucap gue yang memelas dengan kedua telapak tangan terpelangkup.

"Hmmmm!! ... MATI!!!" 

"Duh, Mbak. Salah gue apa sih?" Gue semakin mundur buat menjaga jarak sama perempuan bergaun hitam tersebut.

Kan, bener! Gue nggak punya senjata buat melarikan diri lagi.

"Tolong lah, Mbak. Tolong, gue cuma mau keluar dari sini, kok. Tolonglah... please, jangan ganggu gue, ya."

Dia hanya terdiam dengan tetap mengacungkan belati nya kearah gue.

"Damai, ya Mbak, ya. Please, biarin gue lewat ya, please," ucap gue yang kali ini terpaksa berhenti mundur karena udah mendekati lubang tadi.

"MATI!!!" Kali ini dia kembali berteriak dengan kata yang sama. 

Mungkin Empat huruf itu doank yang doi paham.

"Mati!" Entah ide konyol dari mana, gue mengikuti ucapannya.

"MATI!" Ucapnya lagi.

"Iya, Mati. Mati sih mati, Mbak. Tapi kan bisa nggak pake itu tuh. Bisa kita bicarain baek-baek, kan?"

"Mati..." 

"Ho'oh mati. Mati nya laen kali aja ya, Mbak." Gue berusaha mengendorkan urat syaraf ketakutan dalam diri ini. 

Siapa tau doi bisa diajak berunding, yekan?

"HEEMMM!!!" 

Setdah!

Gue malah dapat jawaban kayak gitu. Perempuan itu malah berdehem keras. 

Lah?

Dia malah mendekati gue pelan-pelan sambil tetap mengacungkan belati nya ke arah gue. Memaksa gue buat kembali merangsek mundur pelan-pelan juga. 

Sekarang dia makin merangsek maju mendekati gue. Entah itu melangkahkan kaki atau melayang, gue semakin ketar-ketir lagi.

"Mbak, Mbak, tolong Mbak, turunin dulu piso nya. Mbak mau apa, kita bicarain baik-baik, oke?" Gue berusaha ngebujuk dia, sekaligus mulai rada takut sih.

"Mati!"

"Iya, Mbak, iya. Mbak mau gue mati ya?"

"HMMM!!!"

Kayaknya nggak ada pilihan lain!

.

.

~ Drap drap drap. ~

.

.

.

.

"BOSAN GUE SAMA OMONGAN LU SETAN!!!"

Yes!

Gue berlari mendekati perempuan bergaun hitam itu yang udah menghentikan langkahnya.

"LO JUAL GUE NAWAR!!! VANGKE!!!"

.

.

~ Wuuuushhhh! ~

.

.

.

Gue berlari cepat dan mengambil ancang-ancang buat menendangnya. Kaki kanan gue sudah melesat ke depan....

.

.

~ Whuuufff! ~

.

.

.

Gue terbelalak!

Sepersekian detik, perempuan itu bisa mundur beberapa langkah dari tendangan gue. Seharusnya tendangan gue nggak bakal meleset.

"BANG*TIIITT*!!!"

Sosok tersebut menjauh dari gue, tapi tetap aja ... mengacungkan belati ke arah gue.

"SINI LO!!!" Amarah gue bener-bener udah membuncah. 

Kesabaran yang gue punya udah mengalahkan rasa takut gue. Dengan penuh emosi yang meluap-luap, gue maju mendekati sosok itu.

"GAK!! GUE NGGAK TAKUT SAMA PISO!!" 

Gue bener-bener pecicilan melangkah cepat menghampirinya. Kali ini perempuan tersebut sudah berhenti, tapi belati nya tetap saja diacungkan ke arah gue. Entah nyali dari mana, gue semakin mendekatinya. Hanya tinggal beberapa langkah saja....

"Lo mau gue mati disini? Oke, gue jabanin!"

.

.

.

.

~Tuk.~

Ujung senjatanya sudah menyentuh dada kiri gue. Dengan sangat jelas terpampang wajah pucat dengan mata merah darah itu. Perempuan itu sama sekali nggak bergeming, ekspresinya pun demikian, masih sama.

Jarak gue dengan perempuan ini su dekat. Entahlah, rasa takut gue sama sekali nggak ada. Gue malah leluasa melihat tampang kampret perempuan ini.

"NYOH! TUSUK GUE! TUSUK GUE SEMAU LO! BANG*TIIITT*!!"

Gue berteriak kencang dihadapan wajahnya. Dia hanya terdiam tanpa ekspresi. 

"TUNGGU APA LAGI HAH!!!"

Jawaban yang gue dapat hanya ... diam.

"SONGONG LU!!!"

Lagi-lagi hanya sebuah kebisuan yang gue dapat.

"KENAPA?! KATANYA LO MAU GUE MATI?! YAUDAH BURUAN!!!"

Gue semakin berteriak kencang memaki di hadapan wajahnya.

"MASIH MINAT NGGAK?!"

"HMMMM!!!" Sebuah jawaban dengan ekspresi yang terlihat marah dari wajahnya.

"APAAN?! NGEJAN BOKER LO?!"

"HMMM!!!"

"APAAN!?! BAB*TIIIIT* LO!!!"

.

.

.

~ Wiiiiiiing.... ~

.

~ PLAAAAKK! ~

Sorry yak, tapi itulah yang gue lakuin buat dia. Gue tampar itu mukanya.

"KAMPRET LO!!"

Tangan gue emang berhasil menampar wajahnya yang ternyata dingin macam pas megang es batu. Wajahnya itu memang sempat berpaling, tapi kembali lagi pada posisinya menatap wajah gue dengan amarah.

"KENAPA?! NGGAK TERIMA? SINI BAWA BAPAK LO KESINI! ASSEEUU!!"

"HMMM!!!"

"APA?! NGGAK TERIMA!

"MATI!!"

"BODO AMAT!"

.

.

~BUGH!!~

.

.

Tendangan gue meluncur tepat mengenai perutnya, yang kali ini seketika membuatnya mundur beberapa langkah.

"HMMM!!!" Sepertinya amarah di wajahnya kian membuncah.

"Ah elah! Ta*tiiit*!!!"

~ Drap drap drap...~

.

.

.

~ Wuuusshh...~

.

.

Gue berlari plus mengambil ancang-ancang buat menendang lagi kearahnya. Kali ini doi semacam sigap buat mengelak dari gue. Dan sukses membuat gue terbelalak!

.

.

.

~ Wuuffffhh.~ 

.

.

Sosok perempuan itu melayang tenang menjauhi tendangan gue. Dia udah berdiri diatas angin ... bener-bener nggak menginjak tanah. Belati yang dia pegang juga udah jinak nggak terangkat lagi.

"WOI SETAN!! TURUN LU!!"

Gue berteriak sambil mendangak ke arahnya. Jarak antara gue sama sosok tersebut, membuat gue terpaksa seperti itu.

"WOI!!! SINI!!! NGGAK USAH BLAGU LU! MENTANG-MENTANG BISA MELAYANG!!"

"HMMM!!!"

"AH CEMEN!"

.

.

.

.

~ Wuuusshh! ~

.

.

Etdah!

Ternyata yang dia lakuin adalah melesat sambil ngacunging belatinya lagi ke arah gue. Reflek gue mundur dan memutar badan. Tabung bambu yang sedari tadi gue gendong ikut bergerak sesuai arah gerakan gue. 

Gue kali ini udah ngibrit sambil noleh ke arah belakang, yang ternyata doi udah mendarat lagi ke tanah. Gue udah memutar badan lagi, kali ini udah berhadapan lagi dengan jarak beberapa langkah saja.

"Nah, gitu donk. Nyok, gelut!" Gue udah memasang kuda-kuda kaki melebar.

Sosok perempuan itu tetap mengacungkan belatinya lagi ke arah gue.

"Kagak takut gue. Sok, sini maju lu!" kedua tangan gue udah mengepal di depan dada gue.

"HMMMM!!!"

"Ck, basi! Kagak takut gue sama gertakan lo!"

"Maaa ... ttiii ...," ucapnya dengan nada lirih.

"Ya udah sini!"

.

.

.

~ Wuuusshh....~ 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mata gue terbelalak!

.

.

.

.

.

.

~ Iiiisssyyyuuufff. ~

Desing suara belati yang melesat ke arah gue sangat terdengar jelas di telinga gue....

.

.

.

~ JLEB! ~

"AASSSSSEEUUU!!!"

Gue teriak kencang.

Belati tersebut berhasil melesat melewati kepalan kedua tangan gue ... menacap persis di atas ketiak kanan gue.

"AAAARRRGGGGHHH!!!"

Sakit nya menjalar diseluruh badan gue. Lengan kanan gue seketika itu juga menjadi lunglai. Sakitnya itu sungguh kawan ... tak terlukiskan. 

.

.

.

~ Bugh.~ 

.

.

.

Seketika itu juga lutut kaki gue langsung lemes, udah nggak sanggup menopang gue buat berdiri tegak. Kedua lutut gue langsung menyentuh tanah. Tangan kiri gue langsung reflek memegang pegangan belati tersebut.

"MATI!" Dia kembali berteriak lancang ke arah gue.

"Arrggghh! Sssii ... alan!"

Sekujur tubuh gue mulai terasa dingin, sedingin kentang di kulkas rumah gue.



Komentar