Gumpalan awan berwarna kelabu beriringan tenang di atas kepala perempuan itu. Tatapan matanya yang kali ini telah berwarna merah darah masih menatap ke arah gue. Angin juga bertiup tenang menerpa rambutnya.
Dingin, iya gue merasakan dingin yang teramat sangat di sekujur badan gue. Gue pun mulai merasakan menggigil kedinginan. Meskipun disisi lain, gue masih mampu untuk melihat. Tapi tetep aja, ada semacam rasa kantuk yang menggelayut di kepala gue. Tetap gue paksakan buat melihat ke arahnya.
Darah gue udah merembes membasahi baju gue, telah menembus jaket yang gue kenakan. Tangan kiri gue udah gemetar sekaligus menggigil, memegang tangkai belati yang udah menancap di dada gue. Menancap tegap di antara tepi ketiak dan tulang leher gue.
"Maa... ttiii...," ucapnya lirih seperti biasanya.
Ya, gue masih mampu untuk mendengar suara sendu yang keluar dari mulutnya.
"Assseeuu! Mau ... lo apaan... sih?"
"Mati..," masih dijawabnya dengan kata dan nada yang sama.
Walaupun sudah menggigil hebat, kaki udah gemetaran bukan play, gue paksakan buat standing nggak pake applause. Mata gue menatap tajam ke arahnya, sekaligus gue udah mampu berdiri lagi.
"Udah? Segini doank?" Tanya gue sembari berusaha menghampirinya.
Dia masih menatap gue dengan tatapan yang sama sekali nggak berubah.
"Mati."
"Woi setan! Lo tamatan PAUD doank, hah!! Nggak ada kata yang laen apa, hah?!" Langkah kaki gue tertatih berjalan menghampirinya.
Tatapan gue sama sekali belum berpaling dari wajahnya.
"Bosen gue dengernya!"
Dia hanya terdiam
mematung. Gaun merahnya berkibar pelan, tidak mampu membuatnya bergeming
sedikitpun. Gue semakin kesal dengan keadaan ini, gue memaksakan langkah kaki
gue untuk lebih cepat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~Drap ... drap … drap....~
Gue berlari lagi meskipun memang tertatih-tatih. Gejolak dalam dada gue hanya satu kata...
Hantam!
"BADJ*TIIIIT*AN!!!"
Tangan kiri sudah gue
lepaskan dari gagang belati yang menancap di badan gue, dan kini sudah mengepal
keras. Dingin yang hinggap di tubuh gue, sudah gue abaikan. Dengan derap
langkah kian cepat setengah berlari mendekati sosok tersebut, gue semakin
bersemangat.
.
.
~ Wiiiinnng! ~
.
.
.
Gue ayunkan tangan kiri
gue ketika tubuh ini sudah berjarak semakin dekat.
.
.
.
.
.
.
~ Wuuufff! ~
Yang gue dapati adalah seperti sebelumnya. Pukulan tangan kiri gue hanya memukul angin. Perempuan bergaun merah itu mundur tanpa melangkahkan kaki sedikitpun. Dia melayang ringan hanya beberapa jengkal kaki dari gue berada.
"Kampret lo!" Gue mengumpat kesal karenanya.
Gue berlari lagi untuk mendekati sosok tersebut, tapi....
Semakin gue kejar, sosok tersebut mundur dengan gerakan serupa. Tanpa ekspresi, tanpa melangkahkan kaki dan tanpa sedikitpun bergeming dari sikap diam tenangnya. Tentu, gue semakin bertambah kesal di buatnya. Amarah gue macam mau meledak.
"SETAN KAMPRET!!!"
.
.
~Wiimmm ... muuussh ...
wiim... ~
.
.
.
Gue ngamuk nggak karu-karuan. Pokoknya, kepalan tinju, tendangan ngawur kaki kanan, kaki kiri, gue layangkan buat mengenai sosok tersebut. Dan, hasilnya tetap sama ... nihil.
"Hosh... hosh... sialan!" Gue mengumpat dalam lelah.
Akhirnya, memang gue kelelahan. Gue kembali merasakan dingin yang kian menjalar di seluruh tubuh gue.
"Bisa nggak sih lo anteng!" Bentak gue sembari melirik doi dengan tubuh yang kian sempoyongan.
Tentu, tentu jawabannya sudah dapat dipastikan. Dia hanya terdiam sambil tatapannya tidak sama sekali berubah. Gue memaksakan diri buat kembali tegak.
Tiba-tiba kali ini tangan kanannya kembali terangkat....
"APA?!"
"HMMM!!!"
.
.
.
~ Wuuufff ~
.
.
.
~Wuuuussshh ~
.
.
.
"AAAARRRGGGHHH!!!"
.
.
~ Tep. ~
.
.
Gue mengerang kesakitan yang luar biasa, hingga membuat gue kembali berlutut. Pisau belati yang menancap di badan gue, seketika itu juga tercabut dengan sendirinya, kemudian melesat mundur hingga hinggap kembali di tangan perempuan tersebut.
"ARRRGGHHH!!!"
Gue masih berteriak kencang dengan mata terpejam ke arah langit. Perih yang gue rasakan membuat gue semakin nggak sanggup untuk berdiri.
"Heeefff... hosh... buruan, BURUAN BUNUH GUE!!! TA*TIIIIT!!!"
Gue mengumpat dan kembali membuka mata gue. Perempuan itu masih memegang belati dengan posisi yang sama. Tatapannya masih ke arah gue, namun kali ini ada yang berbeda dari ekspresi wajahnya. Bibirnya terangkat ... menyeringai.
"Puas?! Puas kan lo?! Buruan bunuh gue!" Kali ini, gue udah mencoba untuk kembali berdiri.
"Lo pengecut!"
"Mati," jawabnya singkat.
Tanpa menunggu kapan
datangnya hilal, gue berlari menghampirinya lagi....
.
.
~ Drap drap
drap...~
.
.
~ Wuuuussshh....~
.
.
.
Gue kembali melesatkan
tendangan gledek yang gue punya.
.
.
~ DEEEGGGHHH! ~
.
.
.
.
.
"AARRGGGHH!"
.
.
.
~ Wuuummm.... ~
.
.
Belum juga sempat
tendangan gue mengenai badannya, ada semacam gumpalan bening sebening kalbu
Mama Dedeh, gumpalan tak berwujud tersebut melesat cepat ... menabrak tubuh
gue. Entah gue nggak tau gumpalan apaan, yang jelas gue cukup memperhatikan
tepi gumpalan sebesar bola kaki, dimana tepi nya ada semacam riak minyak yang
menguap.
.
.
.
.
.
.
.
~ Buuuugghh! ~
Gue terjungkal cukup jauh dari posisi gue berada sebelumnya. Pandangan gue masih jelas menangkap sosok perempuan tersebut menyeringai ke arah gue. Hingga akhirnya gue terjerembab, menindih bekas tusukan belati di badan gue.
"Arrggghh!" Gue mengerang kesakitan dengan wajah yang penuh tanah.
Tabung bambu yang gue pakai, juga terlepas dari badan gue. Tabung itu menggelinding menjauhi keberadaan gue.
"Mati ... maa... ttii... MATI!!!" Sosok tersebut mendekati gue.
Walaupun perih sekujur tubuh gue kian mendera, gue kembali berusaha untuk berdiri. Perempuan itu mendekat ke arah gue masih dengan cara yang sama.
"Bagus, sini, cepetan bunuh gue," ucap gue dengan posisi sempoyongan, berusaha untuk berdiri kembali.
Dia semakin dekat ....
.
.
.
.
Semakin dekat....
.
.
.
.
.
.
.
.
Hanya berjarak lima
kaki....
.
.
.
.
.
.
Ujung belati nya semakin
jelas menuju badan gue.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~ Cuih! ~
Gue meludah ke samping
kiri gue, ludah yang semakin terlihat jelas bercampur dengan darah. Kemudian,
sosok tersebut berhenti tepat dihadapan gue, dengan ujung belati yang sudah
menempel di jidat gue. Yang gue lakukan adalah tidak melawan sedikitpun, hanya
memejamkan mata. Gue pasrah, gue hanya mencoba untuk ... ikhlas.
.
.
.
~ Tuk! ~
.
.
.
Ada sedikit tekanan di
kening gue. Tanpa perlu melihat, gue yakin itu ujung belati yang tajam.
Terlebih, ada sedikit rasa sakit yang hinggap di jidat gue.
.
.
.
.
.
.
~ BUGH! ~
Tiba-tiba terdengar jelas dari telinga gue, apalagi ujung belati tersebut sudah sepertinya sudah tidak berada di jidat gue. Gue membuka kedua mata gue....
Ternyata....
Perempuan tersebut sudah tersungkur nan terjerembab, beberapa langkah dari gue berdiri. Namun, hanya beberapa detik saja, dia sudah kembali berdiri dengan sigap nya. Dia tidak sama sekali kesulitan untuk berdiri, ada semacam gaya pegas dari tanah yang membuatnya berdiri dengan kokoh.
Tatapannya kali ini seperti tidak menatap ke arah gue, melainkan menatap kearah belakang badan gue. Tanpa perlu di komando pula, gue pun memalingkan wajah ke belakang. Dan yang gue dapati adalah....
Sesosok yang sama sekali nggak gue kenali sebelumnya. Seorang laki-laki bertelanjang dada, udah gitu perutnya six pack pulak, badannya pun kekar macam atlit binaraga. Warna tubuhnya pun, coklat glowing-glowing gitu dah. Gue juga cukup terkesima ketika melihat wajahnya. Oke, gue nggak bisa bilang dia tampan. Rasanya nggak pantas kalo bilang dia tampan, melainkan ... cantik.
Bener-bener cantik.
Rambutnya panjang, sebagian menutup dada plus mput-mput nya itu. Terdapat ikat kepala berwarna coklat tua yang melinkar di kepalanya itu. Tapi yang bikin gue tercengang adalah tampangnya itu. Tampangnya tuh, beneran kayak model dari Itali, hidung mancung, bibir tipis, pipi mulus nan tirus, wajahnya pun nggak jauh beda dari badannya, coklat bersih glowing-glowing pulak. Beneran dah, gue bisa klepek-klepek nyaho' kalo dia tuh bersosok cewek.
Dengan mengenakan celana hitam sebatas lutut, beralas kaki seperti selop dengan tali hitam yang melilit sebatas mata kaki, dia berjalan pelan mendekati gue.
"Tenang, aku datang membantumu."
Lah???
Gue makin terperangah....
Suaranya beneran suara cewek, udah gitu semakin terlihat jelas di lehernya ... doi punya jakun Coi!
Etdah!
Dia semakin mendekat dan tersenyum lebar ke arah gue.
Duh Gusti....
Ini makhluk apaan lagi sih? Jangan bilang ada Pendekar bencong dimari.
Haaaiiiisssshh....
"Lukamu ternyata cukup parah," ucapnya dengan nada super lembut.
Dia sekarang sudah berada disamping gue, yang masih terkesiap nan terkesima.
Ampun Gusti…..
Please, jangan buat gue
jadi maho', please.
.
.
.
~ Pletuk! ~
.
.
.
Gue yang masih dalam mode bengong melongo', secara tiba-tiba dan tanpa meminta persetujuan gue, dia sudah menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya ke jidat gue.
Gue pun seketika itu juga, merasakan hawa panas di di dalam badan gue. Dingin yang semula gue rasakan, perlahan-lahan memudar berganti hawa panas di sekujur tubuh gue. Gerah, gue semakin merasakan gerah yang pelan-pelan merambat dari ujung kepala.
"Tenang, beristirahatlah," ucapnya lagi sambil menatap wajah gue lekat-lekat.
Suara dan tampangnya beneran membuat gue menjadi tenang dan terasa damai.
Hadooohhh!
Jangan! Gue nggak boleh terpesona sama sosok ini.
Dan entah apa yang gue
rasakan? Badan gue tiba-tiba merasakan lunglai tak berdaya sehingga kedua kaki
gue pun, nggak sanggup untuk menopang badan gue lagi.
.
.
.
~ Dugh.~
.
.
.
Gue sudah berlutut sambil tetap menoleh ke arahnya, dimana senyumnya itu masih saja bersarang di wajahnya.
Setelah itu, dia pun memalingkan wajah kepada sosok perempuan bergaun hitam di hadapan kami entuh.
"HMMMM!!!"
Sepertinya Si Mbak Hitam beneran udah marah dengan keberadaan sesosok Pendekar Bencong yang ada di hadapan gue ini, entah cemana pulak dia bisa berada di hadapan gue ini
"Nyai, ternyata kita bertemu disaat yang tepat." Sesosok yang berada di dekat gue ini pun, berjalan pelan untuk menghampiri Si Mbak HItam.
"HMMMM!!!"
"Aku sudah lama mencarimu, Nyai."
"Wiragenta!!”
Lah??? Ya gue tambah kaget donk. Itu si Mbak Hitam ternyata malah bisa ngomong dengan kata selain 'mati'.
"Nyai, sepertinya takdir sudah menuntunku untuk bertemu denganmu lagi," ucap sosok yang berada di depan gue ini.
Sesosok yang gue bernama Wiragenta ini, sudah menghentikan langkah kakinya tepat beberapa langkah dari hadapan gue.
"Mari, Nyai. Kita selesaikan disini."
"Inni ... bukan urusanmu...,"ucap Si Mbak Hitam lirih.
.
.
~ Sseepp. ~
.
.
.
Pendekar bencong itupun memasang kuda-kuda dengan melebarkan kedua kakinya. Efeknya, debu-debu disekitar kakinya pun merekah mengeluarkan asap debu yang cukup kental.
Kedua tangannya yang kekar itu pun juga ambil peranan untun siap bertarung, macam Pendekar beneran dah.
Gue perhatiin, tangan kirinya melentang setinggi dada, dengan kedua jari telunjuk dan tengah saling merapat. Sedangkan jari manis dan kelingkingnya terbenam di telapak tangannya. Ibu jarinya pun seperti melipat tegang. Tidak ubahnya dengan posisi tangan kirinya, pun dengan tangan kanannya juga demikian. Bedanya, sudah berada di dekat daun telinganya.
Si Mbak Hitam hanya
terdiam dan tetap mengacungkan belatinya ke arah Pendekar Bencong tersebut. Sepertinya,
amarah si Mbak Hitam belum reda adanya.
.
.
.
.
~ Wuuuusshhh! ~
.
.
.
.
Lagi-lagi gue terperangah
di buatnya. Itu tau-tau tangan kanan Pendekar Bencong mengeluar kan api sebesar
tangan bayi yang kemudian langsung melesat ke arah Mbak Hitam.
.
.
.
.
.
~ Huuufff. ~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~ DUUUAAAARRRR!!!!
~
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ebujug!
Gue kaget bukan main lah!
Itu tembakan api dari Pendekar Bencong kagak mengenai Si Mbak Hitam sama sekali. Sebenarnya arahnya sudah tepat, namun dalam sekejap mata Si Mbak Hitam beralih dengan cepat ke samping kanannya. Api yang melesat itu pun mengenai semak-semak yang berada di belakang Si Mbak Hitam.
Tapi, dengan tiba-tiba
Pendekar Bencong juga melesat kilat mendekati keberadaan Si Mbak Hitam.
Kemudian nggak pake nunggu lebaran kadal, mereka berdua sudah sama-sama saling
berhadap-hadapan. Gue hanya menjadi pemirsa setia mengamati mereka berdua baku
hantam. Gue harap kalian juga sama setianya untuk menunggu kelanjutannya. :)

Komentar
Posting Komentar