17. Dalam Putih

 

17. Dalam Putih.

Di sini, di sudut jalan berdebu, nggak jauh dari tempat gue berada, sudah tergeletak bangkai ular segede gaban. Tidak beberapa jauh dari situ, sudah terdapat dua insan, entah jurig, entah pendekar, yang mana udah saling berantam adu kesaktian. Tidak jauh juga dari situ, gue sudah tergeletak tak berdaya. 

Tatapan mata gue hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Itu pun, gue sudah megap-megap kagak fokus ngeliatin dua sosok tersebut. Mata gue sudah blur, kadang bisa jelas tapi balik blur lagi. Badan gue juga udah gerah nggak ketulungan, macam tidur di dekat bara api. Keringat gue udah membasahi sekujur badan gue.

Sakit akibat di tusuk juga masih terasa, hanya saja pegal-pegal di badan gue udah sedikit berkurang. Gue mencoba menggerakkan tangan dan kaki buat bergerak, tapi susahnya minta ampun. Mungkin boleh di bilang, saat itu gue udah merasakan kelumpuhan.

Untuk bernafas pun rasanya sangat sulit, beberapa kali gue berusaha untuk menarik nafas dan mengeluarkannya, tapi yang ada malahan gue merasakan sesak. Terlebih, gerah yang teramat sangat ini membuat gue rasanya kesulitan untuk melakukannya. 

Perlahan-lahan....

Kedua mata gue sudah nggak sanggup lagi untuk melihat. Gue juga sangat merasa kehausan, mungkin efek dari gerah itu juga. Energi yang gue punya rasanya udah seperti berada di titik nol, mungkin bisa jadi minus. Entahlah.

Hanya Satu yang ada dibenak gue, Imel. Padahal rasanya gue udah mendekati sakratul maut, tapi yang ada di benak gue cuma dia doank. 

"Mel, maafin ... gue, yah," gue hanya mampu berucap lirih dengan mata yang sudah terkatup seutuhnya.

"Mell...."

Rasanya untuk berucap pun semakin terasa berat, gue sudah nggak sanggup untuk berucap satu patah kata pun lagi.

Perlahan....

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dan kian perlahan....

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sayup-sayup seluruh suara semakin menghilang....

.

.

.

.

.

.

.

Kedua mata ini pun kian terlelap....

.

.

.

.

.

.

Dalam.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

 

Sangat dalam.

 

°

°°

°°°

°°

°

"Yassiiin...."

"Wal Qur'anil hakim...."

Pendengaran gue seakan kembali tajam. Terdengar tidak begitu jauh dari keberadaan gue. Lantunan ayat suci menggema di kedua telinga gue, walaupun gue nggak begitu hapal dengan siapa yang melantunkannya.

"Innaka laminal mursalin...."

"Tanzillal azizir rahiim...."

Suara lantunan tersebut sepertinya tidak dilantunkan oleh satu orang, mungkin setidaknya ada dua atau tiga orang lebih yang melantunkannya. Ada suara laki-laki dan perempuannya, yang entah mengapa gue merasakan sejuk ketika mendengarnya. 

Tapi tunggu dulu!

"Hee ... hee...."

Mamah?

Yakin, gue sangat yakin kalo suara tangisan itu dari Mamah. Reaksi gue ketika mendengar suara tangisan dari nyokap gue itu adalah ingin segera rasanya membuka mata gue. Namun....

Berat, sungguh sangat berat untuk gue membuka kedua mata gue. Gue paksakan sekuat tenaga untuk membuka mata gue, tapi kedua mata gue terasa perih yang teramat sangat.

"Laaanng ... hee ... hee ...."

Suara tangisan Mamah sangat memecut gue buat membuka kedua mata gue, namun masih terasa amat sangat berat buat gue membuka mata ini.

Memang, salah satu hal yang gue nggak bisa gue terima sedari kecil ialah melihat dan mendengar tangisan dari nyokap gue. Gue sangat tidak bisa mendengar nya, gue akan melakukan segala cara agar nyokap gue bisa berhenti menangis.

"Mmaaahh ... mah, Mamahhh...," gue berusaha sekuat tenaga untuk menyapa nyokap gue.

Tapi, sakit yang luar biasa dari kerongkongan gue, membuat gue rasanya nggak sanggup untuk melakukannya. Terlepas dari itu, badan gue rasanya pegal nya juga luar biasa. Untuk bergerak pun rasanya sangat susah. 

"Laaanng ... hee ... hee ... Gilang ... heee ...."

Namun, suara tangisan Mamah yang menggema kian jelas tersebut, membuat gue membulatkan tekad, kalo gue harus menenangkan Mamah.

Saat itu, untuk membuka kedua mata gue adalah sesuatu yang amat sangat berat untuk dilakukan, macam kedua mata gue tuh ditempelin sama lak ban. Hanya Indra pendengaran gue yang terasa semakin jelas. Gue mendengar banyak suara riuh disekitar keberadaan gue sekarang.

"Heee... heee... Giillaaaanngg! Heee... " 

Gue mendengar nama gue disebut sama nyokap dengan suara tangis yang meraung-raung. Rasa pegal disekujur tubuh semakin gue lawan, mata yang terkatup erat ini pun semakin gue berusaha untuk membukanya. Tentunya, gue pengen menghentikan tangisan dari nyokap gue itu.

"Mmaaahh...," gue semakin membuka mulut gue untuk memanggil nyokap gue.

Tapi masih seperti sebelumnya, kerongkongan gue sakitnya luar biasa, macam nelen kulit duren dah. Selain itu, rasa haus juga semakin menjalar leher gue. Rasanya sakit paket komplit ini belum juga memudar adanya.

Namun tekad gue udah bulat, gue harus mendekap Mamah.

Pelan....

.

.

.

.

.

.

Perlahan-lahan....

.

.

.

"ARRRGGHH!!"

Gue berteriak hebat untuk membuka kedua mata gue.

"Maahh... Mamahh...." Sakit di kerongkongan gue juga semakin gue lawan. 

Pelan nan sangat perlahan....

Hingga....

Perlahan-lahan kedua kelopak mata gue semakin terangkat pelan.

Yang gue dapati adalah....

Sinar putih terang benderang yang menyapa mata gue. 

"Aarrrgghh!" 

Silau sinar terang itu membuat kepala gue mendadak sakit luar biasa. Sinar terang tersebut berhasil membuat gue menggeliat hebat, meskipun rasa sakit dari ujung kaki sampe kepala mendera gue dengan hebat.

Tapi tekad gue semakin kuat!

Gue kembali membuka mata gue dengan cepat, setelah sempat terkatup lagi. Sinar putih terang benderang tersebut kembali menyapa gue. Sakit remuk redam di sekujur badan gue akibat menatap sinar tersebut semakin bertambah dahsyat.

"AAAARRRRRGGGGHHHH!!!"

Gue semakin meronta ronta-ronta nggak karu-karuan. Sementara, suara lantunan doa yang menggema di sekitar gue masih terdengar sangat jelas. 

Gue pun berhasil tenang setelah beberapa menit kemudian gue mengatur nafas, tetap mencoba untuk melawan rasa sakit yang ada. 

"Heee... hee... Gilang, Mbak. Heee... "

"Sabar, Yum. Cobaan ini memang berat, sabar," yakin, gue sangat yakin, kalau suara ini suaranya Bude Tatik, kakaknya Mamah.

Gue bengong, gue mampu mendengar jelas suara tangis Mamah sama Bude yang terdengar sendu tersebut. Tapi pada kenyataannya, gue sama sekali nggak mampu untuk melihat mereka berdua. Sinar putih yang sebelumnya menerpa gue juga memudar, tapi penglihatan gue masih di penuhi warna putih. Sama sekali nggak ada bentuk maupun wujud yang mampu gue lihat. Gue hanya yakin kalo badan gue sekarang sudah sepenuhnya telanjang. 

Perlahan-lahan, rasa sakit yang mendera gue pun memudar, meskipun sesekali masih terasa. Yang gue dapati sekarang hanya terbaring telanjang tanpa sehelai benang pun. Gue juga bingung, gue ini berbaring di tempat apa, hanya empuk yang gue rasakan, walaupun tetap aja, warnanya putih doank.

Mata gue memang udah mampu terbuka. Tapi sama sekali gue belum mampu untuk mengerakkan jari dan tangan gue, padahal tadi rasanya gue mampu meronta-ronta untuk menggerakkan badan. Hanya suara tangis Nyokap dan suara lantunan doa yang mampu gue dengar. Sedangkan suara gue juga rasanya udah nggak sanggup lagi untuk berucap ataupun berteriak.

Diam.

Sekarang, gue hanya diam mendengar nya. Gue nggak tau, gue sedang berada dimana. Yang gue lakukan hanya seperti itu, diam dan mendengar.

Lambat laun suara tangis nyokap menular ke gue. Mata gue yang terbuka ini pun, sedikit demi sedikit mengeluarkan tetes air mata di pelupuk mata gue. 

"Heee ... heee..."

"Sabar, Yum, hiks... sabar," gue yakin, kalo Bude Tatik juga sesenggukan sembari menenangkan nyokap gue.

Dan gue juga yakin, suara mereka berdua ada disamping gue. Gue hanya mampu mendengar tanpa mengetahui wujud mereka dan tentu wujud yang sedang melantunkan doa juga. 

~Tes.~

Air mata gue merembes hebat di pipi gue. Perasaan sedih, pilu dan sendu sekarang sudah melengkapi rasa sakit di sekujur tubuh gue, yang sesekali masih saja mendera gue.

Gue kembali memejamkan mata gue. Perasaan pilu yang menyayat hati ini pun nggak sanggup gue tepiskan.

Akhirnya, gue menyerah....

Gue putuskan memilih untuk tidur. Gue nggak sanggup untuk mendengar nya lagi. Setidaknya gue nggak akan mendengar tangisan Nyokap kalau gue terlelap.

"Benar, Ngger... sebaiknya beristirahatlah."

Paklik?

Gue yakin itu suara Paklik. Gue berusaha untuk membuka mata ini, tapi kembali berat yang teramat sangat untuk membuka nya.

"Pppaa... aakk ... lliik...," ucap gue yang bersusah payah untuk menyapa Paklik.

"Tidak perlu mengeluarkan suara, Ngger. Ikuti saja perintahku."

Gue terdiam dengan mata masih terpejam.

"Istirahatlah, jangan lupa untuk selalu berdoa."

Gue masih hening....

"Paklik?" Ucap gue dalam hati.

"Tenang dan berdoalah. Jangan ragu untuk selalu melakukannya. Bersabarlah, Ngger."

"Paklik, ini beneran Paklik, kan?" Tanya gue masih dalam hati.

"Benar. Tenangkan saja jiwa mu, beristirahatlah."

"Ini … ini dimana, Paklik?"

"Tenanglah, Ngger. Lakukan saja perintahku..."

Gue pun berusaha untuk melakukan perintah Paklik. Gue pun mengatur nafas denga pelan, gue juga mulai pelan-pelan untuk berusaha tenang. 

Perlahan-lahan gue mulai melakukan perintah Paklik, gue merapal ayat-ayat pendek yang gue hapal, gue juga mencoba meresapi arti dari ayat-ayat tersebut.

"Benar. Berdzikirlah juga untuk NYA." Perintah Paklik lagi yang semakin jelas gue dengar, seperti sumber suara tersebut berada di balik punggung gue.

Gue pun melakukan perintah dari Paklik tanpa sedikit pun membantahnya. Gue merapal Dzikir seperti sesaat setelah melakukan sholat. Gue melantunkannya dengan pelan dan perlahan-lahan, tak sedikitpun tergesa-gesa. 

Perlahan-lahan, muncul perasaan tenang dan damai dalam sanubari gue. Rasa sakit memang masihlah ada, tapi tidak sehebat seperti sebelumnya. Setidaknya gue sudah mampu mengabaikan rasa sakit tersebut.

Gue perlahan-lahan berusaha membuka mata, yang kali ini sama sekali tidak terlalu berat untuk melakukannya. Walaupun sama seperti tadi, hanya sinar terang yang kemudian memendar menjadi putih di sekitar gue. Sayup-sayup suara tangisan Mamah dan lantunan doa yang gue dengar tadi pun, seperti volume yang mengecil dan kemudian menjadi mute, hening membisu.

"Paklik?" panggil gue dalam hati.

"Bagus, Ngger. Sekarang tutup lah lagi matamu." Perintah Paklik yang masih saja terdengar seperti berada di balik punggung gue.

Gue pun melakukan apa yang di perintahkan Paklik, tanpa sedikit pun membantahnya.

"Tetap tutup mata mu, sampai kuperintahkan untuk membuka nya."

"Iya, Paklik."

Kemudian setelah menjawab perintah Paklik, gue merasakan kalo gue seperti berada di ayunan. Gue yakin kalo gue cuma diam aja, tapi ada semacam dorongan yang mengakat tubuh gue. 

Gue merasakan seperti melayang di angkasa, walaupun kaki ini belum seutuhnya mampu gue gerakin. Ada rasa ringan di kaki gue, sehingga gue menyimpulkan sendiri, kalo gue sepertinya lagi di bawa Paklik entah kemana.

Hingga....

~ Tep.~

Gue yakin, kalo sepertinya gue udah menginjakkan kaki kembali. Gue masih mematuhi perintah dari Paklik untuk menutup mata gue, walaupun gue udah yakin kalo gue sekarang sudah berdiri.

"Bukalah matamu, Ngger."

Gue pun melakukan apa yang diperintahkan Paklik.

Apa yang gue lihat sekarang? Sungguh, gue terbelalak nggak berkedip karenanya. Kentang udah bejibun di depan gue.




Komentar