Badan gue terasa enteng, sakit bekas tertusuk belatinya Si Mbak Hitam tidak terlalu terasa. Meskipun, rada senut-senut juga sih. Tapi setidak nya, badan gue terasa ringan. Normal aja gitudah.
Pelan nan perlahan, gue membuka kedua bola mata gue. Tenang nan damai juga gue rasakan dalam dada gue. Semakin terasa kalo gue akan menginjakkan kaki di tanah....
~Tep~
Gue terbelalak...
Sekarang di depan gue sudah terbaring tubuh Imel. Jarak antara gue sama Imel sekitar Dua meteran dari tempat gue berdiri. Imel masih terpejam, terbaring masih dengan pakaian lengkap nya. Tas punggung nya sudah berada dibawah tempat ia berbaring.
Sebuah batu, ya gue yakin kalo itu batu, namun berbentuk persegi panjang, beralaskan kain putih, sudah menjadi tempat Imel berbaring. Berada tepat di samping kepalanya Imel, sudah terdapat sosok yang belum sama sekali gue tau, boro-boro mengenalnya, yekan?
Seorang perempuan setengah baya, mengenakan baju lusuh yang bisa gue katakan semacam daster berwarna abu-abu tua. Rambutnya di tutupi dengan selendang yang terliat senada dengan warna pakaian yang dikenakannya. Dia tengah duduk sambil memijat-mijat pelipisnya Imel. Gue perkirakan, umurnya sekitar Enam puluh tahunan gitu dah. Gue masih terfokus pandangannya ke arah beliau.
Yak! Apa yang ada di benak gue? Tiba-tiba aja gue langsung teringat dengan Nyi Carang, si Mbah Jahanam. Ngeliat kalo gue mau beranjak dari situ, langsung...
~ Tep. ~
Belum juga sempat kaki ini buat melangkah, pundak gue ditahan dari belakang. Gue pun menoleh. Yak! Paklik tanpa berucap satu patah katapun ikut menyaksikan apa yang gue saksikan tersebut.
Gue akhirnya menyapu pandangan ke dalam ruangan ini. Yang gue sangat yakini, kalo ini adalah Goa. Karena setiap dindingnya adalah batu, stalagtit dan stalagmit sudah menghiasi sebagian dinding. Hanya ada satu penerangan di dalam ruangan ini. Sebuah obor yang terletak di sudut ruangan. Yang nyalanya udah setara dengan lampu Tiga watt.
Nuansanya memang remang-remang, karena gue tidak begitu jelas dengan nuansa di dalam ruangan ini. Yang begitu terasa adalah nuansa malam di dalam Goa ini. Karena tepat di sebelah kiri gue, ada hembusan angin yang merambat masuk, menyapa badan gue.
Ya, mulut goa. Gue melihat ke arah luar, yang ternyata banyak pohon-pohon berjajar karena disapu sinar rembulan. Gue yakin, ini sudah malam.
"Paklik," gue menyapa Paklik yang memang sudah berada di belakang gue.
Paklik tidak membalas sapaan gue. Suasana hening yang tercipta membuat gue dan Paklik juga ikutan hening dalam diam, yang beraktivitas hanya Perempuan setengah baya itu saja. Gue dan Paklik hanya berdiri mematung, ngeliatin aktivitas tersebut.
"Lapar, Ngger?" Paklik bertanya seperti itu, tetap berada di belakang gue.
"Tidak begitu, Paklik."
"Tunggulah, sebentar lagi," balas Paklik yang sekarang tangan kanannya udah bertahta di pundak kanan gue.
Beliau sudah perlahan maju bersanding di sebelah kiri gue. Sempat gue menoleh ke arah beliau yang sudah menyunggingkan senyuman tipis namun terasa ramah buat gue.
"Bagaimana keadaan, Imel, Paklik?" Gue kembali menengok ke arah Batu tersebut.
"Kita tunggu saja," jawab Paklik singkat namun terdengar ramah.
Pasti, pasti jawaban beliau terasa diplomatis. Gue masih dihinggapi rasa kuatir dengan keadaan Imel tersebut.
"Oh sudah bangun ya?"
Gue tidak asing dengan suara perempuan tersebut. Gue sapu kembali pandangan gue, tapi tidak mendapatkan suara Pendekar Bencong tersebut. Gue sempet menoleh ke arah Paklik lagi. Beliau cuma diam dan tenang ngeliat ke arah Imel.
"Bagaimana keadaanya, Ki?"
Ebujug!
Gue kaget Coi. Tetiba aja suara dan sosok Wiragenta udah berada disamping kanan gue. Gue liat, entuh pendekar sama kayak Paklik, ngeliatin keberadaan Imel yang sedari tadi pelipisnya diusap-usap sama Perempuan setengah baya tersebut.
"Semoga bisa berhasil," Paklik menjawab kek gitu tanpa sama sekali ngeliat ke arah Wiragenta
"Anu, ee ... Makasih ya, udah nolongin gue."
Wiragenta pun ngeliatin gue pake pose tersenyum yang teramat manis...
Hadooohh....
Please, jangan bikin gue jadi maho donk, please!
Doi cuma tersenyum, trus balik lagi ngeliatin ke arah Imel. Kami bertiga hanya mematung melihat aktivitas di depan mata kami tersebut.
"Sebaiknya, kita bersiap-siap, Ki." Ucap Wiragenta tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya.
Etapi? Tunggu dulu? Ki? Sebutan buat Paklik kah?
Gue yang sekarang menoleh ke arah Paklik. Beliau mencabut tangannya dari pundak gue dan melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tatapannya masih sama.
"Gilang, sampean sudah mendingan belum?"
Heh?! Gue jadi kaget donk. Kok ini pendekar tau nama gue? Gue gantian ngelirik ke arah Wiragenta.
"Su-su-su ... dah rasanya. Mendingan, terimakasih," jujur gue yang malah bingung, mau manggil pendekar ini dengan sebutan apa.
"Bagaimana perkembangannya, Arya?" Sekali lagi, Paklik tidak bergeming dengan pandangannya.
Heh?! Gue malah tambah bingung. Tadi Wiragenta, sekarang malah Paklik yang manggilnya pake nama itu.
"Keberadaan Gilang dan Melani, sudah menjadi topik hangat di Selatan, Ki." Ujar Wiragenta ikut-ikutan dengan pose yang sama persis dilakukan sama Paklik.
"Hmmmh...," Paklik mendengus sambil membelai janggut tipis di dagunya tersebut.
"Bagaimana dengan Timur dan Utara?" Tanya Paklik masih dengan aktivitas nya tersebut.
“Masih, belum dapat dipastikan, Ki. Sepertinya, kita tetap harus bersiap-siap,” balas Wiragenta, eh Arya kemudian dengan tatapan masih sama.
Paklik alias Ki yang dipanggil sama Wiragenta ini, hanya terdiam dengan laporan dari Wiragenta tersebut. Gue? Nggak tau juga harus bersikap seperti apa mendengar omongannya barusan. Tapi, dalam benak gue sudah ada timbul pertanyaan. Apakah gue sama Imel udah viral di Selatan, seperti yang disampaikan oleh Arya barusan?
“Apalagi, Joko Sentot sudah tumbang.” Wiragenta kembali membuka suaranya.
Joko Sentot? Siapa lagi ini? Benak gue semakin menerka arah pembicaraan dari Wirangenta ini. Walaupun gue udah penasaran akut, yang gue bisa lakukan adalah diam.
“Siapa?” Tanya Paklik yang sekarang sudah menatap Wiragenta.
“Nawangsari,” Ujar Wiragenta.
“Nawang? Perempuan yang doyan ngemut Permen?” Celetuk gue secara tiba-tiba.
Seketika itu juga Paklik dan Wiragenta menoleh ke arah gue. Yang mana, gue sempat ngeliatin mereka berdua secara bergantian.
“Dari mana Sampean tau?” Wiragenta bertanya gitu ke gue.
“Perempuan yang udah bawa Imel kesini kan?” Gue balik bertanya sama Wiragenta
“Joko Sentot sepertinya terusik dengan keberadaaan kalian tadi. Sepertinya, karena itu juga Sukmarani juga menghampiri Sampean,” Ujar Wiragenta kembali menatap ke arah Imel.
Lah kok gue? Gue langsung menerka apa yang disampaikan sama Arya barusan. Puzzle dalam benak gue seakan merangkai nama-nama yang disebutkan sama Wiragenta barusan. Joko Sentot untuk Ular Kubro segede gaban entuh, sama Sukmarani untuk Si Mbak Hitam. Kek gitulah terkaan gue untuk sementara waktu. Cuma Nawang sari, yang bisa gue pastikan itu Nawang. Tapi, gue juga belum bisa memastikan dia itu orang beneran apa sesama pendekar, seperti Wiragenta ini.
Lama kami terdiam. Dalam diam tersebut, gue masih khawatir dengan Imel yang masih belum siuman. Kekhawatiran gue, seolah-olah kalo dia adalah orang yang paling penting buat gue saat ini.
“Maaf, Mas Arya. Boleh nanya sesuatu,” Gue memberanikan diri untuk bertanya kepada sesosok yang gue yakini udah nyelamatin gue tadi.
“Sukmarani?” Balas Wiragenta masih dengan arah tatapan yang sama.
Gue jadi tersentak nan terhenyak. Bagaimana ceritanya, ini Pendekar Bencong udah tau apa yang akan gue tanyakan.
“Sepertinya Yayi Kawiduri, Nyai Carang dan sekarang Sukmarani, sudah mengejar kalian, Ngger.” Sekonyong-konyongnya Paklik yang malah menjelaskan ke gue seperti itu.
“Untuk Sukmarani, sepertinya dia hanya mengincar Gilang, Ki.”
Eh?! Lho kok Gue? Gue jadi tersentak dengan ucapan Wiragenta barusan. Kok gue yang malah diincar sama Si Mbak Hitam. Apa salah gue sih?
“Sepertinya, kita tidak bisa membiarkan hal ini menjadi berlarut-larut, Ki.”
“Hmmmm..., apakah kita harus bertindak sejauh itu?” Paklik bertanya sambil ngeliat kearah Wiragenta.
“Tunggu saja, sepertinya kita tetap menunggu pendapat dari Nawang.” Ujar Paklik yang udah ngeliat ke arah Imel lagi.
Nawang? Perasaan gue langsung konek sama benak gue. Kayaknya, perempuan berbapakain SMA tersebut, adalah orang yang ditunggu sama Paklik.
“Kalau memang benar, sebaiknya kita mengatur siasat, agar pihak Selatan bisa membiarkan mereka lewat.” Tambah Paklik yang sudah memecahkan keheningan ini untuk sejenak.
“Baik, Ki. Kita lihat dulu perkembangan dari Nyai Tuwanara,” ujar Wiragenta dengan tatapan masih lurus ke depan.
Gue langsung konek
lagi, sepertinya Perempuan berbaju lusuh yang lagi memijat pelipis nya Imel
tersebut adalah Nyai Tuwanara. Gue berharap, kalo kami
benar-benar sudah berada di pihak yang tepat. Setidaknya, gue sedikit merasa
lega kalau yang gue harapkan tersebut benar adanya.
.
.
~ Wuuuusssshhh.... ~
Tiba-tiba saja angin bertiup kencang dari arah mulut Goa. Seketika itu juga, gue langsung menoleh ke arah belakang, ke arah mulut Goa. Tapi tidak dengan Wiragenta dan Paklik, mereka masih diam dengan posisi mereka.
Apa yang gue dapati? Kagak ada. Hanya pucuk pohon-pohon yang udah melambai–lambai kena terpaan angin malam yang begitu kencangnya. Akhirnya, gue berbalik badan lagi buat mengamati Nyai Tuwanara sama Imel.
Gue perhatikan, ada perubahan pada tubuh Imel. Badannya udah bergetar, kepalanya masih dipijat-pijat oleh Nyai Tuwanara. Lambat laun getaran yang semula ringan tersebut, mulai perlahan-lahan berguncang hebat.
Gue terperangah dengan perubahan tersebut. Kedua tangan Imel langsung meronta-ronta hebat, kedua kakinya juga semakin terguncang dan menendang-nendang nggak karu-karuan. Tidak lama kemudian, ada buih-buih liur nan pekat sudah merembes keluar secara perlahan dari sudut bibirnya Imel.
Gue semakin tertegun, nggak bisa buat ngomong apa-apa.
~ Dreep! ~
Gue tambah terperangah. Tiba-tiba saja, Wiragenta sudah duduk bersila dan memejamkan matanya. Pose kedua tangannya sudah semacam orang yang lagi melakukan gerakan Yoga. Tangan kanannya, sudah berada tepat di depan dadanya. Dimana jari Telunjuk dan Jari tengahnya mengapit berdiri tegak, sedangkan tangan tangan kirinya menengadah menahan telapak tangan kanannya tersebut.
~ Dreep! ~
Gue ngalihin pandangan ke samping kiri gue, Paklik juga sudah duduk bersila. Tapi kedua tangannya hanya bersimpuh pada kedua lutut kakinya. Dengan mata terpejam, Paklik sudah duduk dengan sikap tegak. Hanya saja, Ibu jari dari tanganya aktif bertemu dengan ujung-ujung jari lainnya. Begitu juga dengan tangan kirinya. Jari jemari Paklik aktif bergerak-gerak diatas lututnya tersebut.
“Duduklah, Ngger. Bantu temanmu dengan Zikir.”
Suara Paklik itu terdengar jelas di telinga gue, tapi yakin seyakin-yakinnya, suara itu bukan keluar dari mulutnya Paklik.
Akhirnya, gue pun menuruti
Paklik. Gue menuruti perintah Paklik tersebut. Eh? Gue baru sadar, kalo gue
sudah berpakaian lengkap seperti terakhir kali gue ketemu sama Wiragenta
berantem sama Mbak Hitam. Bukan telanjang saat seperti gue mendengar rintihan
Mamah.
Gue pun mengikuti pose Paklik. Duduk bersila, tapi kedua tangan gue tidak seperti Paklik. Hanya merangkupkan sela-sela jari jemari gue untuk bertemu, berada tepat di depan kantung kemih gue. Sedangkan, kedua Ibu Jari gue sudah gue pertemukan. Gue melafal kan dalam hati, apa yang biasanya gue sebut setelah Shalat. Ah iya, kapan gue melakukannya ya? Sungguh penyesalan menyeruak dalam sanubari gue.
Kapan terakhir Gue benar-benar berzikir mengingat, mengagungkan nama Tuhan? Rasanya sudah lama sekali gue tidak melakukannya. Dalam diam, gue melafalkan dalam hati Pujian tesebut. Tak terasa, ada yang merembes keluar dari mata gue. Ya, gue menangis pelan, mengingat kelakuan gue selama ini. Secara sadar, gue udah terlalu jauh berjalan ditempat yang seharusnya gue lakukan.
Gue menangis...
“Jangan buka mata mu, Ngger!” Perintah Paklik seperti bicara dengan gue.
“Iya, Paklik.” Gue balas dengan berucap dalam hati.
Tak lama kemudian....
“HUAAAAA!!!”
Terdengar raungan dari sebuah suara....
Yang sangat gue yakini itu suara dari Imel.
“JANGAN BUKA MATAMU!” Paklik beneran membentak gue, yang memang sempat penasaran karena suara Imel tersebut.
Akhirnya, gue tetap mencoba untuk fokus dengan kegiatan yang sudah gue lakukan tersebut.
“Gilang, jangan sampai sampean membuka mata, sebelum kami perintahkan.”
Eh?! Wiragenta juga bisa berkomunikasi sama gue donk?! UWAHHH! Canggih Coi! Gue bisa ngomong sama mereka, tanpa pulsa. Yuhuuuu...
“HUUUAAAA!!!
HUUUUAAAA!!!!”
.
.
.
.
.
.
.
.
~ Dugh! Dugh! Dugh! ~
Gue yakin, sepertinya Imel beneran meronta-ronta parah. Gue yakin, itu tangan sama kakinya sudah bertumburan sama Batu dan dinding Goa ini.
“Lain kali, dengerin omongan gue. Lo nggak usah blagu, kalo disini.”
Lah???
Gue tambah terperanjat, walau gue nggak berani buat buka mata. Gue yakin itu suaranya Nawang yang entah kenapa, berkomunikasi lewat Telepati Massal tersebut.
“Lo beneran, Nawang?” Tanya gue dalam hati.
“Iye, ini gue. Udah fokus dulu, jangan lupa doain buat dia juga.” Nawang bilang kek gitu, yang suaranya beneran kek berada di depan kuping gue.
“Oke, makasih ya.” Ucap Gue dalam hati lagi.
Tapi nggak dibales sama
Nawang.
.
.
.
.
.
.
~ Wuuuuushhhh ~
Angin kembali bertiup kencang, rasanya lebih dahsyat dari yang tadi. Bulu roma di tengkuk kepala gue seolah-olah merespon kencang dengan hembusan angin tersebut. Gue langsung fokus lagi buat mengulang Dzikir gue.
“ALLAHU AKBARR!!”
Kencang sekali gue
mendengar teriakan Paklik yang menggema di teliga gue itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~ DUUUUAAAARRR!!!! ~
Gue tetap nggak berani
melihat, yang gue nggak tau dimana itu ledakan yang berasa kek ledakan Petasan
Meriam. Gue tetap berusaha fokus, dimana kalimat Allah MAHA BESAR seperti yang
Paklik teriakkan tadi, membuat gue terhenyak.
.
.
.
.
~ BUUUGGGH! ~
.
.
“Aarrrggh!!”
Gue teriak kencang karena secara tidak ane sadari, dada gue ada seperti dihantam sama benda tumpul. Gue tetap memejamkan mata, walaupun sakit bekas belati terus menyengat karena hantaman tersebut.
“HUUUAAAA!!!
HUUUUAAAA!!!!”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
~ Dugh! Dugh! Dugh! ~
Suara Imel semakin meraung-raung, dalam sakit yang teramat sangat perih di dada gue, gue tetap memejamkan mata.
“Nawang, sepertinya, Gilang kena,” Gue menangkap suara dari Wiragenta tersebut.
“Biarkan dia, Arya,” Yang membalas malah Paklik.
“Aku akan melindungi dia. Ki Demang, tolong halau mereka!” Teriak Nawang menyahut omongan nya Paklik.
Eh? Ki Demang
“Nawang, jangan lupa Nyai Tuwanara.” Sahut Wiragenta.
“Tentu, Gadis itu juga tanggung jawabku. Cepat kalian halau mereka!” Nawang juga udah membalas sahutan Wiragenta.
Gue semakin bertanya-tanya, ini mereka pada ngapain sih? Kok ada halau menghalau segala? Berantem apa gimana sih? Kalo berantem kok nggak ada deru debunya yak? Pertannyaan gue makin berkecamuk.
“Lo turutin perintah gue! FOKUS!!!” Nawang membentak gue.
Eh? Kayaknya dia tahu, kalo konsentrasi gue udah terpecah. Sakit seperti hantaman benda tumpul tadi masih terasa, raungan dari Imel masih terdengar namun gue masih bertanya-tanya juga. Ini mereka pada ngapain sih?
Gue akhirnya kembali
fokus dengan Dzikir gue tadi. Gue memejamkan mata, walau terasa gelap dalam
pandangan gue, gue mulai merasakan dentingan dan suara pukulan yang samar-samar
gue denger. Suaranya memang tidak lah keras, namun gue masih bisa mendengarnya
dengan laun dan samar. Hingga....
.
.
.
.
.
.
~ Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing! ~
Kuping gue berdenging hebat, reflek gue angkat kedua tangan gue buat menutup kedua lubang telinga gue entuh. Pelan-pelan kepala gue berasa berputar-putar hebat. Gue merasakan ada siluet-siluet sesosok nawang dalam pejamnya mata gue tersebut.
Nawang seolah lagi menggapai gue, seketika itu juga kepala gue berasa berputar-putar hebat. Gue menyaksikan wajah paniknya Nawang dengan tetap berusaha menggapai tangan gue. Apakah itu bayangan Nawang? Entahlah terasa nyata berada di depan gue?
“GOB*Tiitt*LOK! JANGAN BUKA MATA LO!” Sahut Nawang yang tiba-tiba berasa suaranya di samping gue.
Yang semula gue mau
membuka mata, lagi-lagi gue mengurungkan niat gue itu. Entahlah, gue masih
bingung dengan semua ini. Gue kembali melafalkan Dzikir yang gue lafalkan dalam
hati.
.
.
.
.
.
~ BUUUUUGGH! ~
“AAAARRRGGHH!!!” Lag-lagi gue udah teriak dengan kerasnya, malah lebih keras dari yang sebelumnya. Entah apa yang kini menghantam dada gue barusan.
Dengan teriakan gue tersebut....
Gue merasakan kalo gue seperti
terbang untuk sejenak....
.
.
.
~ Bugh! ~
“Aarrrgh!”
Gue teriak lagi, karena gue yakin, punggung gue sudah mengenai dinding batu di dalam Goa ini. Seketika itu juga, kepala gue merasakan pening yang teramat sangat. Sekarang kedua tangan gue sudah memegang kepala gue. Pening ini sukses membuat gue mual...
“Hooooeeggh!”
~Bloaaaagh!!~
Dengan mata tetap
terpejam, gue memuntahkan isi dalam perut gue. Gue limbung. Gue sudah nggak
kuat. Gue memilih untuk berbaring.
.
.
.
~ Buugh ~
Gue beneran udah berbaring, karena mulai dari telapak kaki yang sudah berasa nggak berpijak, pinggang dan punggung seperti menyandar pada lantai, kepala pening yang teramat sangat, dada terasa sesak dan bekas luka belati tadi, kini menyengat kian menyeruak. Gue udah nggak kuat. Dalam diam dan terpejam tersebut...
“Meel ... Lo ... dima ... na ...” Gue menyebut nama Imel.
“Mel ... Gue ... udah” Gue kian meracau.
“Mel ... Mela ... nii ...”
Pening yang teramat sangat itu ditutup dengan suara....
~ Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing! ~
.
.
.
.
.
.
.
Mata gue semakin
berat...
.
.
.
.
.
Gelap semakin pekat.
.
.
.
.
.
.
.
Sungguh terlalu pekat
untuk warna hitam.

Komentar
Posting Komentar